(Part 13) Hampir Mati
Part sebelumnya.
Kau bilang kau temanku? Kenyataannya semua kata-kata itu sampah.
***
Keesokan harinya, aku bagai mendapat kejutan listrik bertegangan dua ribu volt. Manajemen produksi meminta penjelasan. Mereka bilang, Symphony yang kubuat tidak sesuai standar. Di ruangan pastry, Marcus sudah menunggu. Karin dan aku dikonfrontasi dihadapan staff yang lain.
“Ada tiga komplain hari ini, tiga whole Symphoni lolos QC tanpa rhum. Di kertas purchase order tidak ada keterangan tambahan apa pun, yang berarti semua pesanan sesuai standar. Tolong jelaskan ini,” Marcus melempar kertas purchase order ke hadapan Karin, “di copy lampiran ada tanda tanganmu Frey,” lanjutnya.
“Bagaimana bisa, selama ini aku nggak pernah menandatangani apa pun karena aku bukan staff,” ujarku membela diri. Kulihat Karin nampak sangat tenang. Aku sungguh kesal dengan responnya itu.
“Dia menambahkan rhum pada sample QC. Namun sepertinya keliru menggunakan krim isian. Frey, kamu sempat kehabisan krim bukan? Yang kamu buat untuk tiga cake terakhir pasti salah prosedur,”
Apa? Aku mencium sesuatu yang tidak beres. Perempuan ini berubah menjadi ular berbisa. Menyerangku licik dengan memutar balikkan fakta.
“Tapi Kakak yang bilang langsung padaku, pesanan khusus tiga cake tanpa rhum! Dan tanda tangan ini, aku nggak tahu siapa yang memalsukannya!” cercaku emosi. Kami menjadi tontonan semua orang produksi.
“Staff lain sudah saya mintai keterangan. Semua bilang tidak ada pesanan khusus hari itu,” jawab Marcus.
“Seharusnya kamu berani mengakui kesalahan dan tidak melimpahkannya ke orang lain. Apakah kamu punya bukti dengan tuduhan itu?” cecar Karin.
Semua salahku karena terlalu percaya hingga tidak mengecek ulang kertas rekap order itu. Salahku yang percaya ketika Karin memberi instruksi ketika aku hanya berdua saja dengannya, tanpa saksi. Sekarang posisiku di ujung tanduk, tanpa ada yang bisa membela. Aku hampir putus asa, ketika Boy tiba-tiba datang menghampiri kami.
“Saya punya bukti, kalau Freya tidak bersalah disini. Frey, sorry. Saat itu aku sedang merekam kamu diam-diam sampai ketika Karin membicarakan soal pesanan khusus. Dia bilang ada tiga whole tanpa rhum,” jelasnya. Setelahnya dia memutar video yang dimaksud. Aku kaget, tak kukira Boy begitu aneh. Durasi video itu cukup panjang, dan aku yang menjadi bintang utamanya. Boy…. Mungkinkah dia?
Karin pucat pasi. Mungkin tak diduga akan tertangkap basah seperti itu.
“Kedua anak ini bersekongkol. Bisa-bisanya kalian merekayasan ini?” sangkalnya, masih berusaha membela diri.
“Maaf Kak, video itu adalah buktinya. Saya juga mendengar dengan telinga saya sendiri,” ucap Boy tegas.
Aku memandangi perempuan ular itu, menanti apa lagi yang akan diperbuatnya untuk menyangkal.
“Oke, semua sudah tahu kalau aku dibalik ini semua. Lantas apa, hah? Kalian mau memecatku, kau juga membenciku Marcus? Silakan! Anak ini memang kujadikan tumbal untuk membuatmu tersingkir dari sini! Kejadian di chiller itu, aku yang berencana membunuhmu!”
Semua terjadi begitu cepat, ada kilatan terang dari sebuah logam di tangan Karin, tiba-tiba menghujam perut Marcus dan langsung mencabutnya. Perempuan itu seperti kesetanan, hampir saja mengayunkan pisau itu lagi, namun Marcus berhasil menghindar meski kepayahan. Selanjutnya adalah pemandangan mengerikan yang tersaji, darah berceceran dimana-mana.
“Pak.. Pak Marcus!!” aku menjerit ketakutan. Seketika The Blossoms menjadi mencekam. Tanpa diduga, Indri datang dari arah kerumunan staff dan langsung mengeluarkan jurus taekwondo yang dimilikinya. Dengan sekali tendangan memutar, dia membuat Karin tersungkur hingga pisau terlepas dari genggamannya. Sambil berjongkok, diinjaknya punggung perempuan tomboy itu dan melakukan kuncian sempurna seperti polisi yang memborgol kedua tangan penjahat.
“Boy, berikan kunci mobil ke Freya, psikopat ini biar kita yang urus! Frey, rumah sakit terdekat dua kilometer dari sini. Kamu nggak punya waktu banyak!” benar kata Indri. Marcus sudah hampir pingsan sekarang.
***
Delapan tahun kemudian.
Hari ini pernikahan Indri. Gaun putih gading bermodel sabrina amat cantik jatuhnya di tubuh ramping gadis berkulit putih itu. Sungguh beruntung pria yang menjadi suaminya. Setelah menemuinya di ruang rias, aku keluar dan menghampiri Boy yang sedang merokok di taman gereja.
“Frey, kamu ingat ketika hari Marcus hampir mati?” Boy bertanya padaku sebelum acara pemberkatan dimulai.
“Demi apa pun bagaimana aku bisa lupa? Hari ketika aku dipermalukan, difitnah, dan dia bahkan tidak memberiku kesempatan membela diri sampai akhirnya… Ah, sudahlah,” air mataku selalu menggenang ketika mengingat hal mengerikan itu.
“Seandainya dia tidak ditikam waktu itu, mana mungkin kita bisa begini. Selamanya kamu nggak akan tau, seperti apa perasaanku waktu itu. Aku terlalu pengecut untuk jujur hingga video itu menjelaskan semuanya.”
“Boy, itu sudah lama sekali. Aku jadi malu kalau membayangkannya,” ucapku lirih.
“Aku berterima kasih, saat itu kamu menunjukkan kekhawatiran yang luar biasa pada Marcus sehingga aku tidak berharap lagi dan bisa berpikir lebih waras bahwa ada berlian berkilauan yang menantiku,” racaunya sambil tertawa, “tapi aku tak habis pikir, kenapa kita bisa berada sedekat itu dengan psikopat semacam Karin,”
“Entahlah, mungkin takdir. Itu juga yang membuatku tidak mau masuk dapur lagi,” ya, sejak peristiwa itu mami memindahkan sekolahku ke sekolah umum. Profesiku sekarang adalah designer interior, urusan dapur semua kuserahkan pada asisten rumah tangga.
Seseorang mengamit lenganku mesra, pria berwajah oriental dengan tubuh tegapnya begitu gagah mengenakan tuxedo hitam. Senyumku mengembang. Pria ini sudah satu tahun menjadi raja di rumah mungil kami.
“Menangis lagi? Honey please, Boy nggak akan kemana-mana. Dia cuma dipinjam sama temanmu yang satu, Indri” ledek Marcus sambil terkekeh, “Kamu gugup, Boy? Sampai merokok disini?” sambungnya.
“Ahahahah, butuh udara segar sebelum melepas masa lajang,” Boy menjawab sekenanya. Dia mematikan rokok-mungkin karena malu dan mengajak kami untuk langsung masuk, rangkaian acara sebentar lagi dimulai.
***
Indri didampingi ayahnya memasuki altar. Senyum penuh haru menghiasi wajah ayah dan anak itu. Boy menyambut mereka di ujung altar. Prosesi diawali dengan melantunkan pujian bersama-sama, pemberitaan firman Tuhan, disambung dengan upacara peneguhan nikah yang dipimpin pendeta.
Aku hampir menangis ketika pengucapan janji nikah mereka. Ini merupakan momen yang menegangkan, mereka harus dengan lantang dan bersungguh-sungguh mengucapkan janji setia sebagai sepasang suami istri. Kemudian prosesi dilanjutkan dengan saling menyematkan cincin pernikahan di jari manis tangan kanan masing-masing.
Kami bertiga bersahabat sejak sekolah dasar. Menjadi rumit ketika Marcus datang. Ditambah ada binar mata yang tidak wajar dari Indri terhadap Boy dahulu. Dan di hari naas itu, semua orang tahu apa arti video yang dibuat Boy diam-diam. Semua itu menjadi kenangan manis, sampai akhirnya kami mendewasa dan menemukan jalan terbaik dalam hidup.
***
Di mobil, perjalanan menuju rumah setelah acara pemberkatan.
“Tadi Boy dan aku sempat membicarakan soal Karin,” ucapku datar.
“Kenapa kamu tiba-tiba mengingat-ingat peristiwa itu? Sudah delapan tahun berlalu, honey,” dia menatapku sekilas dengan dahi mengerenyit.
“Bolehkah aku bertanya sesuatu?”
“Tentu,”
“Di malam sebelum hari mengerikan itu, kamu mau bercerita satu hal tapi tidak jadi. Mengapa tidak kamu ceritakan saja?”
“Oh,”
Aku merubah posisi duduk hingga benar-benar menghadapnya.
“Aku mau jawaban yang lebih memuaskan dari oh-mu! Aku rasa, yang mau kau bicarakan ada hubungannya dengan Karin,”
“Tidak penting,”
“Aku hampir mati penasaran! Jelaskan sekarang atau nanti malam kamu tidur di sofa!”
“Frey….” Marcus menepikan mobil dan menghela napas panjang, “kamu cemburu? Please Frey, dia menginginkanku mati saat itu,” sambungnya.
“Iya, sungguh aku penasaran, apa arti kata ‘gila’ di chat waktu itu, pembicaraan kalian di telepon ketika jam makan siang, hingga dia menggunakanku sebagai tumbal? Sampai sekarang aku hanya berkesimpulan sendiri tanpa pernah tau kebenaran dari mulutmu,”
Hening.
“Darl, apakah benar kalau aku berpikir Karin adalah seseorang yang pernah dekat denganmu?” aku bertanya dengan sangat hati-hati.
Marcus memandang jauh ke depan.
“Dulu, beberapa bulan sebelum kalian bertiga datang,” jawabnya, “sepertinya setelah kami putus perempuan itu menaruh dendam yang luar biasa. Dia hampir gila. Aku memperingatkannya untuk tidak menyakitimu ketika menelepon siang itu,”
Aku mengusap dahi yang mulai berkeringat. Rasanya mual sekali karena menahan emosi dan kesal mendengar penjelasannya. Ah, kenapa juga harus mendongkol? Toh sebelumnya aku sudah menduga hal itu.
“Semua sudah selesai honey, jangan mengingat hal yang tidak berguna.”
Tanpa permisi aku keluar dari mobil, lalu menjongkok dan muntah. Marcus menghampiri dan merangkulku. Kuraih tissue basah yang dia sodorkan.
“Are you ok?” tanyanya.
“Not at all.”
“Uhm, kupikir sudah lama kamu tidak haid, honey? Dan akhir-akhir ini kamu juga lebih sensitif. Apakah itu berarti-?” bukannya khawatir, di wajahnya malah tersungging senyum yang amat manis.
Aku mencoba berdiri, namun limbung.
“Sebenarnya, pagi tadi aku mengeceknya dan…”
“Bagaimana?”
“Dua garis,”
Tanpa diduga Marcus langsung memelukku erat sambil tertawa lepas, tanpa mempedulikan pandangan aneh orang-orang yang berlalu-lalang disekitar kami.
“Darl, aku malu dilihat orang banyak…”
“Aku sedang merayakannya, aku berterima kasih padamu. Sekarang, kita ke dokter obgyn. Kita cari yang terbaik di kota ini, supaya kamu bisa melahirkan dengan normal. Karena aku tahu, kamu benci pisau,” bisiknya.
Aku mengangguk pelan, balas merengkuh punggungnya erat. Banyak sekali syukur yang kuucap dalam hati.
The Blossoms, terima kasih. Karenamu, aku menikahi seorang Marcus Barata, baker tampan dan baik hati yang tidak ada duanya di muka bumi ini.
End.
#Onedayonepost #tantangancerbung #ODOPbatch5