Libur ODOP Ngapain Aja?

time-371226_960_720

 

Sudah seminggu berlalu sejak terakhir mengisi share link di komunitas One Day One Post (ODOP). Sebenarnya ada satu postingan gaje yang saya buat beberapa hari lalu. Tapi karena itu hanya tulisan amburadul, jadi tidak di share di grup.

***

Seminggu ini ngapain aja?

 

Hohoho…. Kepinginnya santai kayak di pantai, selow kayak di Moscow. Namun kenyataan tak seindah ekspektasi, seminggu ini dijalani dengan deadline pekerjaan yang tidak sedikit. Malah akan berlangsung sampai satu minggu kedepan. Apakah itu? Selama dua minggu, saya harus menyelesaikan proses foto produk sebanyak 500 SKU. Mulai dari penyiapan, cek kelayakan kondisi barang, setting spot pemotretan, eksekusi, hingga editing. Beruntung, ada sederetan staf yang siap jadi tim repot.

Alhamdulillah, semua dipermudah. Meski ngeri-ngeri sedap karena hari Jum’at pekan depan tanggal merah (yang berarti hari efektif kerja hanya Senin sampai Kamis), saya optimis semua akan selesai tepat waktu. Tentu dengan catatan, kerjanya fokus. Nggak sambil jadi DJ Youtube buat teman satu divisi, apalagi sambil ngobrolin Gigi Hadid yang katanya stupid banget karena putus dari Bang Enjen. Semoga yaa, semoga teman-teman satu team saya bisa istiqomah sampai akhir!

Inilah yang membuat saya betah menjadi bagian dari divisi online, karena bisa bersinergi dengan manajer marketing dalam menentukan langkah strategis untuk meningkatkan penjualan. Banyak ilmu yang bisa saya curi dari disain grafis, fotografer, dan dari manajer marketingnya sendiri. Sadar, bahwa masih banyak kekurangan yang selama ini tertutupi oleh kinerja anggota tim lain. Apalah artinya posisi saya sekarang tanpa bantuan dan dukungan moral dari mereka. Leader tidak bisa berdiri sendiri tanpa serdadu. Sebaliknya, serdadu tidak bisa bergerak efisien tanpa kecerewetan dan ketegasan seorang leader.

 

Lalu, apa hubungannya dengan libur ODOP?

 

Hubungannya adalah, saya tidak jadi naik tensi ketika malam-malam dikontak via whatsapp oleh Manager IT yang menginfokan progres maintanance website. Saya juga tidak jadi sport jantung ketika dosen menelepon saya, karena ada perubahan jadwal kuliah. Ya, jadwal menjadi acak dan itu adalah celah besar untuk berutang tulisan. Dan terakhir, saya bisa kepoin youtube channel Gita VBPR tiap malam. Mencari video zumba yang paling asyik dan langsung dipraktikkan pada waktu biasa saya semedi buat tulisan ODOP. Berharap semoga ada mukjizat, bisa lebih langsing meskipun hanya di jempol kaki. Hahaha…

 

Kalau kata Ruben Onsu, “Jalani, nikmati, senyumin aja!”

Sebelum kelas Non Fiksi dimulai 🙂

 

#Onedayonepost #ODOPbatch5

Pamit

Malam ini saya kangen menulis. Terus terang kangen yang benar-benar bikin sakit. Entah sejak kapan kegiatan malam-malam lalu menjadi candu. Biarlah hanya Tuhan, saya, dan kamu yang tau rasanya.

***

Meski sudah tidak ada paksaan untuk tetap menulis, tapi rasanya ada yang hilang jika kebiasaan selama dua bulan lalu merangkak pergi. Malam yang saya lalui selalu diakhiri dengan torehan tinta digital di blog yang saya sebut rumah kedua.

Sesekali butuh pelepasan untuk beberapa hal tak lazim yang saya miliki. Ada bagian kecil dalam diri saya yang Tuhan berikan lebih, untuk dapat mawas diri. Kedengaran berlebihan memang, namun saya tidak merasa itu adalah kelebihan. Akan menyenangkan rasanya jika itu disebut karunia yang datang berulang tanpa diminta.

Siang tadi, ketika  kelelahan entah mengapa diberi bunga penglihatan yang benar-benar membuat sakit lahir dan batin. Tentang seseorang, rasa rindu yang menjijikan, dan kebencian yang mendarah daging. Tangis, adalah cerita selanjutnya. Dan malam ini saya hanya ingin sendirian.

Butuh ruang sendiri.

Membayangkan apa artinya, dan mengapa masih ada cerita ingatan yang seharusnya sudah dilempar jauh ke neraka. Ya, tempat semua bagian masa lalu itu harusnya berada. Maaf sayang, benci ini tak bisa pamit dalam hitungan revolusi bumi.

Semua kata maaf biar mengangkasa.

Sumpah serapah juga kupersilakan datang dan berlalu.

Namun, pastikan bahwa kau layak menghiba maaf dan menyerapahiku.

Aku melihat, hari kau berpamitan. Karena kau hendak pergi meninggalkan semesta.

Dan yang menjijikan adalah, aku menangisinya.

 

#flo’srandomstory

Merkurius in Memoriam

Merkurius adalah planet terkecil dalam tata surya dan terdekat dengan matahari. Kala revolusi 88 hari dan kala rotasi 59 hari. Merkurius hanya bisa terlihat saat subuh atau maghrib. Begitu juga dengan Merkurius kami. Meski sering senyap, namun tetap hangat.

***

Ciri-Ciri-Planet-Merkurius-dan-Penjelasannya

 

Kalau kalian mau tahu, apa itu One Day One Post (ODOP), baca aja disini ya. Biar lebih afdol, soalnya author bakal pegel linu sampe harus minum geliga kalo harus nulis lagi. Ini aja anak udah riweh minta dikelonin! Eh, geliga itu obat minum bukan si? Apa balsem?

Di komunitas ODOP, peserta dibagi menjadi beberapa kelompok kecil. Hal ini untuk mempermudah para PiJe (Penanggung Jawab) untuk mengontrol data posting tiap-tiap anggota. Di sana, anggota grup akan melakukan bedah tulisan selama beberapa kali dalam satu minggu. Pada kelas ODOP angkatan ke-5, kelompok-kelompok kecil ini diberi nama seperti planet-planet dalam. Diantaranya Merkurius, Venus, Mars, dan Bumi.

Hari itu, saya dijebloskan ke grup Merkurius entah oleh siapa. Meski awalnya sempat merasa bising karena satu kelompok dengan abegeh yang sering OOT ketika kelas materi di grup besar, lama-lama saya betah juga karena kebisingan itu memudar. Kenapa eh kenapa? Pada minggu kedua dedek gemes itu sudah di-kick karena sering bolos setoran! Nggak usah sebut merk ya. Ngiaaahahahahaaah!!! (Ups, jahatnya dirikuh…)

 

Menurut saya, Merkurius ini isinya orang-orang ajaib yang penuh warna. Berbagai karakter menjadi satu. Ada yang tenang-tenang menghanyutkan, ada yang suka kasih es krim rasa nasi, ada juga yang suka kasih petuah menentramkan jiwa (ini penting banget buat pereda stress saya kalau udah dikejar deadline), ada juga yang baru nongol kalau sudah muncul pertanyaan dari kami yang mentok banget, susah! Buktinya, rumput yang bergoyang aja nggak mampu njawab, si Ariel Peterpan juga udah bantu tanya pada malam, masih juga ga bisa jawab. Mau tanya mbah google, takut syirik. Bingung kan?

Tapi, apa pun itu, saya sebagai nubie sangat berterima kasih karena sudah diberikan kesempatan untuk bisa berkarya bersama teman-teman di Merkurius. Tak hanya sekedar berbagi tips menulis, di kelompok kecil ini saya juga menemukan teman yang ternyata memiliki bakat yang hampir sama istimewanya. Yaitu bisa ‘melihat’ apa yang tidak semua orang bisa lihat, bisa merasakan apa yang tidak semua orang bisa rasakan. Dan ternyata, kami lahir di bulan yang sama. Ajaib!

 Eh ya? Katanya, Merkurius mau dibubarkan? Ada yang mau tanya nggak, perasaan saya gimana? Kalau nggak ada, anggap aja ada ya. Jadi, rasanya itu seperti mau pergi pindah rumah. Seharusnya nggak masalah karena rumah barunya masih di dunia juga, bukan di akhirat. Atau biar gampang, bayangin aja deh. Rasa galaunya itu seperti orang yang udah mau putus, tapi masih cinta. Sakit sampai ke ulu hati kek kena gastritis kronis.

Jadi, biar kadar sakitnya nggak melebihi rasa sakit ditinggal selingkuh sama mantan, saya coba buat tulisan ala-ala mbanyol ini. Kalau versi melankolisnya udah dibuat sama Pak Agus Heri, sekarang saya buat versi sanguin se-sanguin sanguinnya. Sekoplak-koplaknya. Jadi, yang diingat jangan cuma yang melow-melownya ya! Inget kalo saya pernah bikin testimoni ini jadi rusuh dan nggak berfaedah. Cukup sekian dan terima kasih. Wassalam!

 

#Onedayonepost #ODOPbatch5 #testimonimerkurius

Bakers Gonna Bake (13-End)

(Part 13) Hampir Mati

Part sebelumnya.

weddings-3225110_960_720

 

Kau bilang kau temanku? Kenyataannya semua kata-kata itu sampah.

***

Keesokan harinya, aku bagai mendapat kejutan listrik bertegangan dua ribu volt. Manajemen produksi meminta penjelasan. Mereka bilang, Symphony yang kubuat tidak sesuai standar. Di ruangan pastry, Marcus sudah menunggu. Karin dan aku dikonfrontasi dihadapan staff yang lain.

“Ada tiga komplain hari ini, tiga whole Symphoni lolos QC tanpa rhum. Di kertas purchase order tidak ada keterangan tambahan apa pun, yang berarti semua pesanan sesuai standar. Tolong jelaskan ini,” Marcus melempar kertas purchase order ke hadapan Karin, “di copy lampiran ada tanda tanganmu Frey,” lanjutnya.

“Bagaimana bisa, selama ini aku nggak pernah menandatangani apa pun karena aku bukan staff,” ujarku membela diri. Kulihat Karin nampak sangat tenang. Aku sungguh kesal dengan responnya itu.

“Dia menambahkan rhum pada sample QC. Namun sepertinya keliru menggunakan krim isian. Frey, kamu sempat kehabisan krim bukan? Yang kamu buat untuk tiga cake terakhir pasti salah prosedur,”

Apa? Aku mencium sesuatu yang tidak beres. Perempuan ini berubah menjadi ular berbisa. Menyerangku licik dengan memutar balikkan fakta.

“Tapi Kakak yang bilang langsung padaku, pesanan khusus tiga cake tanpa rhum! Dan tanda tangan ini, aku nggak tahu siapa yang memalsukannya!” cercaku emosi. Kami menjadi tontonan semua orang produksi.

“Staff lain sudah saya mintai keterangan. Semua bilang tidak ada pesanan khusus hari itu,” jawab Marcus.

“Seharusnya kamu berani mengakui kesalahan dan tidak melimpahkannya ke orang lain. Apakah kamu punya bukti dengan tuduhan itu?” cecar Karin.

Semua salahku karena terlalu percaya hingga tidak mengecek ulang kertas rekap order itu. Salahku yang percaya ketika Karin memberi instruksi ketika aku hanya berdua saja dengannya, tanpa saksi. Sekarang posisiku di ujung tanduk, tanpa ada yang bisa membela. Aku hampir putus asa, ketika Boy tiba-tiba datang menghampiri kami.

“Saya punya bukti, kalau Freya tidak bersalah disini. Frey, sorry. Saat itu aku sedang merekam kamu diam-diam sampai ketika Karin membicarakan soal pesanan khusus. Dia bilang ada tiga whole tanpa rhum,” jelasnya. Setelahnya dia memutar video yang dimaksud.  Aku kaget, tak kukira Boy begitu aneh. Durasi video itu cukup panjang, dan aku yang menjadi bintang utamanya. Boy…. Mungkinkah dia?

Karin pucat pasi. Mungkin tak diduga akan tertangkap basah seperti itu.

“Kedua anak ini bersekongkol. Bisa-bisanya kalian merekayasan ini?” sangkalnya, masih berusaha membela diri.

“Maaf Kak, video itu adalah buktinya. Saya juga mendengar dengan telinga saya sendiri,” ucap Boy tegas.

Aku memandangi perempuan ular itu, menanti apa lagi yang akan diperbuatnya untuk menyangkal.

“Oke, semua sudah tahu kalau aku dibalik ini semua. Lantas apa, hah? Kalian mau memecatku, kau juga membenciku Marcus? Silakan! Anak ini memang kujadikan tumbal untuk membuatmu tersingkir dari sini! Kejadian di chiller itu, aku yang berencana membunuhmu!”

Semua terjadi begitu cepat, ada kilatan terang dari sebuah logam di tangan Karin, tiba-tiba menghujam perut Marcus dan langsung mencabutnya. Perempuan itu seperti kesetanan, hampir saja mengayunkan pisau itu lagi, namun Marcus berhasil menghindar meski kepayahan. Selanjutnya adalah pemandangan mengerikan yang tersaji, darah berceceran dimana-mana.

“Pak.. Pak Marcus!!” aku menjerit ketakutan. Seketika The Blossoms menjadi mencekam. Tanpa diduga, Indri datang dari arah kerumunan staff dan langsung mengeluarkan jurus taekwondo yang dimilikinya. Dengan sekali tendangan memutar, dia membuat Karin tersungkur hingga pisau terlepas dari genggamannya. Sambil berjongkok, diinjaknya punggung perempuan tomboy itu dan melakukan kuncian sempurna seperti polisi yang memborgol kedua tangan penjahat.

“Boy, berikan kunci mobil ke Freya, psikopat ini biar kita yang urus! Frey, rumah sakit terdekat dua kilometer dari sini. Kamu nggak punya waktu banyak!” benar kata Indri. Marcus sudah hampir pingsan sekarang.

 

***

Delapan tahun kemudian.

 

Hari ini pernikahan Indri. Gaun putih gading bermodel sabrina amat cantik jatuhnya di tubuh ramping gadis berkulit putih itu. Sungguh beruntung pria yang menjadi suaminya. Setelah menemuinya di ruang rias, aku keluar dan menghampiri Boy yang sedang merokok di taman gereja.

“Frey, kamu ingat ketika hari Marcus hampir mati?” Boy bertanya padaku sebelum acara pemberkatan dimulai.

“Demi apa pun bagaimana aku bisa lupa? Hari ketika aku dipermalukan, difitnah, dan dia bahkan tidak memberiku kesempatan membela diri sampai akhirnya… Ah, sudahlah,” air mataku selalu menggenang ketika mengingat hal mengerikan itu.

“Seandainya dia tidak ditikam waktu itu, mana mungkin kita bisa begini. Selamanya kamu nggak akan tau, seperti apa perasaanku waktu itu. Aku terlalu pengecut untuk jujur hingga video itu menjelaskan semuanya.”

“Boy, itu sudah lama sekali. Aku jadi malu kalau membayangkannya,” ucapku  lirih.

“Aku berterima kasih, saat itu kamu menunjukkan kekhawatiran yang luar biasa pada Marcus sehingga aku tidak berharap lagi dan bisa berpikir lebih waras bahwa ada berlian berkilauan yang menantiku,” racaunya sambil tertawa, “tapi aku tak habis pikir, kenapa kita bisa berada sedekat itu dengan psikopat semacam Karin,”

“Entahlah, mungkin takdir. Itu juga yang membuatku tidak mau masuk dapur lagi,” ya, sejak peristiwa itu mami memindahkan sekolahku ke sekolah umum. Profesiku sekarang adalah designer interior, urusan dapur semua kuserahkan pada asisten rumah tangga. 

Seseorang mengamit lenganku mesra, pria berwajah oriental dengan tubuh tegapnya begitu gagah mengenakan tuxedo hitam. Senyumku mengembang. Pria ini sudah satu tahun menjadi raja di rumah mungil kami.

“Menangis lagi? Honey please, Boy nggak akan kemana-mana. Dia cuma dipinjam sama temanmu yang satu, Indri” ledek Marcus sambil terkekeh, “Kamu gugup, Boy? Sampai merokok disini?” sambungnya.

“Ahahahah, butuh udara segar sebelum melepas masa lajang,” Boy menjawab sekenanya. Dia mematikan rokok-mungkin karena malu dan mengajak kami untuk langsung masuk, rangkaian acara sebentar lagi dimulai.

***

Indri didampingi ayahnya memasuki altar. Senyum penuh haru menghiasi wajah ayah dan anak itu. Boy menyambut mereka di ujung altar. Prosesi diawali dengan melantunkan pujian bersama-sama, pemberitaan firman Tuhan, disambung dengan upacara peneguhan nikah yang dipimpin pendeta.

Aku hampir menangis ketika pengucapan janji nikah mereka. Ini merupakan momen yang menegangkan, mereka harus dengan lantang dan bersungguh-sungguh mengucapkan janji setia sebagai sepasang suami istri. Kemudian prosesi dilanjutkan dengan saling menyematkan cincin pernikahan di jari manis tangan kanan masing-masing.

Kami bertiga bersahabat sejak sekolah dasar. Menjadi rumit ketika Marcus datang. Ditambah ada binar mata yang tidak wajar dari Indri terhadap Boy dahulu. Dan di hari naas itu, semua orang tahu apa arti video yang dibuat Boy diam-diam. Semua itu menjadi kenangan manis, sampai akhirnya kami mendewasa dan menemukan jalan terbaik dalam hidup. 

***

Di mobil, perjalanan menuju rumah setelah acara pemberkatan.

“Tadi Boy dan aku sempat membicarakan soal Karin,” ucapku datar.

“Kenapa kamu tiba-tiba mengingat-ingat peristiwa itu? Sudah delapan tahun berlalu, honey,” dia menatapku sekilas dengan dahi mengerenyit.

“Bolehkah aku bertanya sesuatu?”

“Tentu,”

“Di malam sebelum hari mengerikan itu, kamu mau bercerita satu hal tapi tidak jadi. Mengapa tidak kamu ceritakan saja?”

“Oh,”

Aku merubah posisi duduk hingga benar-benar menghadapnya.

“Aku mau jawaban yang lebih memuaskan dari oh-mu! Aku rasa, yang mau kau bicarakan ada hubungannya dengan Karin,”

“Tidak penting,”

“Aku hampir mati penasaran! Jelaskan sekarang atau nanti malam kamu tidur di sofa!”

“Frey….” Marcus menepikan mobil dan menghela napas panjang, “kamu cemburu? Please Frey, dia menginginkanku mati saat itu,” sambungnya.

“Iya, sungguh aku penasaran, apa arti kata ‘gila’ di chat waktu itu, pembicaraan kalian di telepon ketika jam makan siang, hingga dia menggunakanku sebagai tumbal? Sampai sekarang aku hanya berkesimpulan sendiri tanpa pernah tau kebenaran dari mulutmu,”

 

Hening.

 

Darl, apakah benar kalau aku berpikir Karin adalah seseorang yang pernah dekat denganmu?” aku bertanya dengan sangat hati-hati.

Marcus memandang jauh ke depan.

“Dulu, beberapa bulan sebelum kalian bertiga datang,” jawabnya, “sepertinya setelah kami putus perempuan itu menaruh dendam yang luar biasa. Dia hampir gila. Aku memperingatkannya untuk tidak menyakitimu ketika menelepon siang itu,”

Aku mengusap dahi yang mulai berkeringat. Rasanya mual sekali karena menahan emosi dan kesal mendengar penjelasannya. Ah, kenapa juga harus mendongkol? Toh sebelumnya aku sudah menduga hal itu.

“Semua sudah selesai honey, jangan mengingat hal yang tidak berguna.”

Tanpa permisi aku keluar dari mobil, lalu menjongkok dan muntah. Marcus menghampiri dan merangkulku. Kuraih tissue basah yang dia sodorkan.

Are you ok?” tanyanya.

Not at all.”

“Uhm, kupikir sudah lama kamu tidak haid, honey? Dan akhir-akhir ini kamu juga lebih sensitif. Apakah itu berarti-?” bukannya khawatir, di wajahnya malah tersungging senyum yang amat manis.

Aku mencoba berdiri, namun limbung. 

“Sebenarnya, pagi tadi aku mengeceknya dan…”

“Bagaimana?”

“Dua garis,”

Tanpa diduga Marcus langsung memelukku erat sambil tertawa lepas, tanpa mempedulikan pandangan aneh orang-orang yang berlalu-lalang disekitar kami.

Darl, aku malu dilihat orang banyak…”

“Aku sedang merayakannya, aku berterima kasih padamu. Sekarang, kita ke dokter obgyn. Kita cari yang terbaik di kota ini, supaya kamu bisa melahirkan dengan normal. Karena aku tahu, kamu benci pisau,” bisiknya.

Aku mengangguk pelan, balas merengkuh punggungnya erat. Banyak sekali syukur yang kuucap dalam hati.

The Blossoms, terima kasih. Karenamu, aku menikahi seorang Marcus Barata, baker tampan dan baik hati yang tidak ada duanya di muka bumi ini.

 

End.

#Onedayonepost #tantangancerbung #ODOPbatch5

Bakers Gonna Bake (12)

(Part 12) Ketenangan Tak Biasa

Part sebelumnya.

 

Semua kegilaan itu dimulai hari ini.

***

Entah apa yang ada di kepala Marcus dengan kata-kata ‘gila’ itu. Tak selang satu menit, nada dering panggilan masuk berbunyi nyaring. Ya ampun, pria ini betul-betul membuatku heran. Sedang cuti saja masih begitu memikirkan pekerjaan dan mengganggu jam istirahat staffnya. Bimbang, mau mengangkat atau tidak. Mungkin sesuatu yang penting, pikirku. Kutekan tombol hijau.

 

“Ya,” jawabku malas.

“Kamu bilang, siapa yang memberi acc?” suaranya terdengar setengah membentak.

“Karin,”

“Biarkan aku bicara dengannya. Berikan teleponmu!” kali ini suaranya benar-benar terdengar marah. Tidak pernah kudengar nada bicaranya sekeras ini. Tanpa berpikir panjang segera kuserahkan gawai ini ke kakak senior yang sedang makan di ujung meja yang lain.

“Kak, Pak Marcus mau bicara,” ucapku sambil menyodorkan benda persegi berwarna putih di genggamanku kepadanya.

“Kenapa Marcus meneleponmu jika memang penting, tidak menghubungiku langsung?” kulihat lirikan matanya menatapku tajam. Ah, bodohnya aku. Hal ini lama-lama pasti membuat spekulasi tentang aku dan Marcus tersebar luas. Di The Blossoms, dinding punya telinga! Karin mengambil gawaiku, lalu berjalan menjauh. Cukup lama, sekitar lima belas menit mereka berbicara.

 

“Bagaimana Kak, kedengarannya Pak Marcus melarangku finishing kali ini, uhm-maksudku untuk Symphony….” tanyaku hati-hati.

“Sudah kuatur. Kamu lanjutkan saja seperti awal yang sudah kita rencanakan. Sebelum jam empat sore ini harus sudah selesai,” ucapnya santai sambil mengembalikan telepon genggamku.

Aku masih merasa was-was hingga berpikiran untuk menanyakan apa saja yang Marcus bicarakan dengan Karin tadi. Namun ketika baru mau membalas chat, gawaiku malah mati total, kehabisan baterai. Ah, lupa membawa charger pula. Niat meminjam charger terlupakan begitu saja ketika kembali larut mengerjakan finishing.

***

Sore ini semua selesai. Hasil coating yang kukerjakan lumayan mulus meski ada sedikit permukaan yang kurang terlapisi merata. Tak jadi masalah karena masih bisa diselamatkan oleh staff yang lain. Secara formalitas Karin yang melakukan quality control. Produk yang kubuat diluluskan. Untuk Symphony, dia hanya melihat tampilan luar tanpa mencicipi sample.

“Selesai, tinggal masukkan semua cake ke dalam container lalu serahkan ke bagian pengiriman. Terima kasih atas kerja keras kalian hari ini, great job!” ucapnya akhir jam kerja hari ini.

Aku merasa sedikit lega. Hari ini semua target selesai tanpa hambatan yang berarti. Tapi di sisi lain ada perasaan tidak tenang. Semua ini terlalu tenang, terlalu lancar. Kutepis semua perasaan yang tidak jelas ini, lalu pulang dengan kedua temanku.

***

Malam hari, menjelang tidur.

 

Sebuah pesan whatsapp masuk ketika aku mengaktifkan ponsel setelah seharian mati kehabisan baterai. Marcus.

[Kita bicara besok. Berdoa saja malam ini, semoga tidak ada hal buruk terjadi]

Lama aku berpikir. Namun akhirnya rasa penasaran membuatku nekat bertanya.

[?? Apa yang kamu dan Karin bicarakan tadi?]

[Besok saja, ya. Malam ini aku lelah]

[ya]

[Tidak ada ucapan selamat malam?]

[Tidak. Malam ini aku juga lelah] kukembalikan kata-katanya, lalu segera memejamkan mata meski pikiran masih dipenuhi tanda tanya. Beberapa kali kudengar notifikasi pesan masuk hingga aku terlarut di alam mimpi.

 

Bersambung ke part 13

Bakers Gonna Bake (11)

(Part 11) Rush Hour

Part sebelumnya

 

hourglass-1703330_960_720

 

Briefing pagi ini agak mencekam. Lima belas jenis cake harus dieksekusi oleh empat personel. Seharusnya aku tidak masuk hitungan, karena masih berstatus magang. Tapi karena keadaan mendesak, aku diikutsertakan.

***

“Oke, kita sudah putuskan. Kamu handle Symphony dan Black Forest, aku menangani sisanya!” kata-kata Karin saat ini terdengar seperti perintah. 

“Hhh… Detailnya?” jawabku pasrah. Dia membawaku ke ujung ruangan saat membicarakan detail pesanan ini. Saat ini matanya seolah menatapku tajam, bersiap menghakimi jika hasil cake yang kubuat tidak sesuai standar.

“25 dan 30 cm- square, masing-masing 10 whole. Pesanan khusus tiga tanpa rhum untuk Symphony. Black Forest lima belas whole ukuran 30 cm. Oya Frey, tambahan Tiramisu ukuran 40x60cm untuk versi sliced,” Karin membacakan kertas Purchased Order. Setelahnya, kertas tersebut ditancapkan di soft board dengan menggunakan pin besar.

“Tiga sekaligus satu hari, Kak?” tanyaku agak terkejut

“Menurutmu, hah?”

Kulirik jam tangan. Saat ini masih jam 7 pagi, aku mulai mengira-ngira. Sampai jam istirahat nanti semua base cake akan kutumpuk dan menyimpannya di chiller. Setelah jam istirahat kuperkirakan semua akan mendingin dan set, mereka akan kueksekusi satu per satu. Aku hanya diberikan instruksi oleh karyawan, bukan oleh Manajer Produksi. Ini bisa dibilang melanggar wewenang. Kalau sampai gagal, apa yang akan dilakukan Marcus padaku?

***

Bagaimana cara menyusun strategi agar semua pekerjaan ini bisa selesai tepat waktu? Mulanya aku membuat filling dark cherry, lalu mengocok krim cair beberapa resep sekaligus dengan mixer besar hingga kaku. Krim inilah yang akan kubagi-bagi, dan memodifikasinya dengan bahan lain hingga menjadi isian yang berbeda untuk masing-masing cake.

Isian tiramisu kubuat lebih dulu, setelah itu membuat chocolate mousse untuk isian Symphony. Lebihnya kugunakan untuk Black Forest. Bahan krim sudah jadi, aku menumpuk masing-masing lapisan cake dengan krimnya. Jam menunjukkan pukul dua belas ketika semua tumpukan selesai. Kami beristirahat makan siang terlebih dahulu.

 

***

 

Suasana kantin karyawan kali ini lumayan ramai. Mungkin karena kali ini kami keluar bersama, tidak bergiliran antar divisi seperti biasa karena Manajer Produksi tidak bertugas. Biarlah sesekali mereka merasakan kemerdekaan. Disela-sela makan, kurasakan gawaiku di saku bergetar. Kulihat ada pesan whatsapp masuk. Dari Pak Manajer.

 

[Bagaimana harimu tanpaku hari ini?]

Kuabaikan malas. Gawai kuletakkan diatas meja lantas kembali melanjutkan makan bersama senior yang lain. Namun benda mungil itu kembali bergetar, berkali-kali.

[Kenapa hanya dibaca? Produksi hari ini lancar, bukan?]

[Frey,,]

[Fokus saja dengan pekerjaanmu, besok kita latihan coating lagi.]

 

Hening selama beberapa saat. Kuketik beberapa kata.

 

[Tidak perlu latihan lagi. Karin sudah memberi acc untuk membuat Symphony, Tiramisu, dan Black Forest sekaligus.]

[Maksudnya?]

[Aku sudah di acc untuk handle tiga cake sekaligus, masa kamu belum tau? Hari ini pastry hanya tiga orang selain staff magang. Karin yang handle alur produksi]

 

Hening lagi

 

[GILA!]

 

Bersambung ke part 12

 

Daftar Istilah:

Whole: Cake berbentuk utuh.

Purchased order: Kertas yang berisi rekap order masuk. 

Sliced: Cake yang sudah berbentuk porsian kecil/ potongan.

Bakers Gonna Bake (10)

(Part 10) Lebih Dekat

Part sebelumnya

Aku terlalu kikuk hingga refleks menarik tangan dari genggaman kuatnya. Malang, wadah berisi coklat itu malah meluncur bebas mengenai kemejanya. Ya, dia sudah tidak mengenakan seragam karena jam kerja sudah selesai.

“Aduh, maaf Pak. Saya nggak sengaja,”ucapku gugup, “yaah… Kemejanya kotor.”

Aku mengambil tissue dan mencoba mengelap sebelah kanan bawah kemejanya.

“Grogi sih grogi, tapi nggak perlu sampai segitunya Frey….” Marcus terkekeh, membuat wajahku merona merah. Karin hanya menggeleng-geleng. Sudah hapal kelakuan atasannya yang suka bergurau. Kami menyudahi ‘privat’ hari ini.

***

Karin pulang, namun aku masih di The Blossoms. Beralasan menunggu jemputan padahal aku sengaja menunggu Marcus di depan ruangannya. Aku tahu, dia sedang berganti pakaian. Seharusnya dia menyimpan cadangan baju, seperti yang biasa dilakukan seniorku yang lain. Menjadikan loker sebagai kamar kedua.

Benar saja, tak perlu menunggu lama dia keluar dari ruangan. Berganti pakaian dengan sweater hitam bahan kaus. Kemeja kotor tadi ditenteng sebelah tangan. Sejenak aku terpesona, namun segera kualihkan pandangan agar tidak terlanjur koslet.

“Pak, mengenai tadi…. Kemejanya saya bawa ya, biar saya cuci,” ucapku.

“Tidak ada orang, jangan panggil Bapak. Aku belum tua,”

“Pak,”

“Marcus,” ucapnya tegas, “Just Marcus.”

 

Hening.

 

“Kak, biar kemejanya saya bawa pulang,”

Marcus tertawa.

“Okay, fine. Kakak… Nggak buruk juga. Segitu pinginnya bawa kemejaku? Mau dicuci atau diapain? Jangan aneh-aneh ya. Hahaha….”

“Saya cuma merasa gak enak.”

“Iya, silakan dibawa. Tapi ada syaratnya,” dia melirik dengan sorot mata yang kekanak-kanakan. Lantas berjalan menuju parkiran motor.

“Kenapa pakai syarat?”

“Kuantar pulang. Lihat, langit sudah mendung dan angin sore ini begitu kencang. Sebentar lagi hujan, aku takut kamu kedinginan, hypothermia lantas masuk UGD lagi,” ujarnya sambil mengenakan helm dan menunggangi motor sportnya, “naik!”

“Haah??”

***

Setelah kali itu, Mami makin penasaran dengan Marcus. Entah angin apa yang membuatnya menanyakan Marcus berulang kali. Berapa kali harus kujelaskan, kalau aku dan dia hanya senior dan junior. Tidak ada sesuatu yang lebih.

Mengingat kejadian hari ini, aku jadi penasaran dengan cara menghias cake. Hari Minggu, aku berlatih menyiram cake dengan coklat ganache lagi. Akhirnya berhasil setelah menghabiskan tiga buah kue yang kubuat dengan resep seperti di The Blossoms.

***

Pagi ini, ketika masuk kerja kami sempat dibuat bingung karena ada dua orang staf yang tidak masuk karena sakit. Kebetulan Marcus juga kebetulan sedang cuti ke luar kota.

“Frey, kamu bisa handle Black Forest dan Symphony? Aku keteter kalau pegang tiga sekaligus!” mohon Karin.

“Tapi, aku baru bisa coba sekali di rumah dan itu pun dengan ukuran yang lebih kecil.”

“Tidak apa-apa, pasti kamu bisa. Cobalah.”

Dheg! Bagaimana jika kali ini tidak berhasil?

 

Bersambung ke part 11

Bakers Gonna Bake (9)

(Part 9) Keep Fighting!

Part sebelumnya

Diam dan mati
Milik dia yang tak bisa berdiri
Berdiri di kakinya sendiri

(Fourtwnty)

***

Karin mengajariku cara membuat cake yang diberi nama Chocolate Symphony. Kuperhatikan dengan seksama, sambil tak lupa mencatat di sebuah notes kecil. Mulanya, bolu spons berbentuk segiempat dibasahi dengan simple syrup. Selanjutnya, dilapis dan dihias menggunakan whipped cream coklat. Hal tersebut dilakukan berulang-ulang hingga mencapai empat lapis kue.

 

10615506_320425421476376_8385334678006448596_n

Source: Clairmont Patisserie

 

Setelah selesai menumpuk lapisan kue, bagian atas dan samping kue dioles menggunakan krim yang sama. Lantas cake didiamkan terlebih dahulu di chiller agar set. Proses ini memakan waktu sekitar 30 menit.

 

“Frey!”

Ternyata Indri memanggil. Ia sudah menunggu untuk pulang bersama, menumpang di mobil Boy.

“Ndri, duluan aja ya. Nanti aku pulang sendiri naik taksi. Masih lemburan soalnya,” jawabku meledek Karin.

“Sori Ndri, hari ini biar Freya lembur dulu. Ada privat dari senior baker pastry nih,” timpal Karin, “besok dia mau jadi spesialis Chocolate Symphoni. Naik kelas setelah sebulan mainan dark cherry terus, hahaha…”

Indri mendekati kami, memperhatikanku yang sedang mengaduk-aduk adonan cokelat ganache di panci kecil yang akan dipakai menyiram cake.

“Kamu beruntung Frey, bisa dua bulan di pastry. Sedangkan aku, hampir mati kering di cookies. Sama keringnya dengan Kaastengel dan Katetong yang kubuat,” kali ini ucapan Indri benar-benar buatku trenyuh. Seperti kata-kata Marcus sebulan lalu, betapa semua orang ingin berada disini. Suasana kerja nyaman dan banyak variasi resep membuat kami banyak sekali belajar.

“Kalau begitu aku dan Boy pulang ya, met lembur buat Kakak cantik dan Freya!” pamit Indri pada kami. Kulihat senyum lebar mengambang di bibirnya. Sebenarnya, sudah lama aku ingin seperti ini. Membiarkan kedua sahabatku lebih dekat tanpa pengganggu, mungkin mereka bisa berbicara lebih akrab. Tatapan mata Indri tak bisa berbohong, ada binar-binar yang memancar tiap kali ia menatap dan menyebut nama Boy.

 

***

 

Tiga puluh menit berlalu, sekarang adalah saat yang paling mendebarkan. Setelah berkali-kali dijelaskan teori bagaimana cara coating/ menyiram cake dengan cokelat ganache, kali ini aku harus praktik sendiri. Memang, kue yang digunakan adalah dari bolu sisa trimming yang sudah tak terpakai, jika gagal pun tak ada masalah. Namun tetap saja rasa gugup melanda, karena ini pertama kali aku mencobanya.

 

“Seperti yang aku jelasin tadi ya Frey, kamu mulai siram dari tengah, baru ke pinggir-pinggirnya,” arah Karin, “harus ekstra hati-hati, karena bentuk kuenya kotak. Perhatikan bagian sikunya”

“Kak, tanganku gemetar.”

“Nggak apa-apa, aku yakin kamu pasti bisa.”

 

Ternyata kali pertama gagal, cokelat ganache habis namun tidak semua permukaan kue terlapisi. Aku tak bisa menyembunyikan raut kecewa di wajah.

“Jangan menyerah, kita coba pada cake yang kedua.”

“Ya Kak,” huuft… Aku menarik napas panjang. Mencoba menenangkan diri.

Kali kedua juga gagal. Bagian atas sudah terlapisi semua, sedangkan bagian pinggir masih ada yang ‘botak’.

“Ambil cake yang ketiga,” Karin menginstruksikan hal yang sama sekali lagi, agar aku tetap tidak menyerah.

 

 

Cake sudah siap di atas cooling tray sampai tiba-tiba ada yang memegang tangan kananku dari belakang. Menuntun menggerakkan wadah cokelat, membentuk gerakan memutar dengan lihai sehingga seluruh permukaan cake terlapisi dengan sempurna. Refleks aku memutar, menoleh ke belakang. Astaga-Marcus?

 

Bersambung ke Part 10.

 

Daftar Istilah:

Simple syrup : Air gula. Terbuat dari perbandingan gula dan air sebanyak 1:1.

Trimming: Memotong bagian yang tidak terpakai pada bolu, agar tampilan kue menjadi lebih bagus.

Cooling Tray: Rak pendingin yang berbentuk seperti jaring-jaring.

 

#Onedayonepost #ODOPbatch5 #tantangancerbung

 

Bakers Gonna Bake (8)

(Part 8) Black Forest dan Chocolate Symphony

Part sebelumya

Keluar dari zona nyaman perlu keberanian.

Mencoba hal baru diluar kebiasaan butuh nyali seluas lapangan sepak bola.

***

Benar kata Marcus, divisi pastry menyimpan banyak harta karun. Jika di sekolah aku mengolah bahan masakan, disini aku lebih banyak bermain krim dan dekorasi di dapur dingin. Tidak ada urusan mengerok loyang, iris kenari, atau berbasah-basah dengan daging ayam. Sejak hari pertama, aku lebih banyak diajari oleh Karin. Pertama kali, tanggung jawabku adalah membuat isian dan menghias Black Forest sampai siap didistribusikan ke seluruh outlet.

The Blossoms menggunakan resep Black Forest otentik Jerman. Isiannya adalah manisan buah ceri hitam, whipping cream, dan chocolate ganache. Pinggiran cake ditaburi serutan coklat blok dan atasnya dihiasi cherry hitam tangkai. Tak lupa mereka menambahkan sedikit kirschwasser untuk menambah efek rasa segar.

 

black-forest-cake-4

 

Seminggu pertama Karin masih mendampingi, setelahnya aku dibiarkan mandiri. Rutinitas setiap hari adalah meminta bahan ke ruang penimbangan, membuat isian, menumpuk cake dan menghias dengan whipped cream.

Dari semua jenis kue yang dibuat tim pastry, sebenarnya Black Forest termasuk yang paling mudah. Namun memang lebih merepotkan pada tahap persiapannya. Mempraktikkan resepnya selama sebulan penuh saja sudah  membuatku dipercaya. Seringkali Black Forest yang kubuat lolos distribusi tanpa melewati proses quality control. Dari sinilah satu per satu resep mulai dipercayakan oleh Kakak senior, meski aku hanya berstatus karyawan magang.

                                                                    

                                                                     ***

 

“Frey, sudah hampir sebulan di pastry, aku perhatikan kamu makin terbiasa ya,” Karin membuka percakapan di sela pekerjaan kami.

“Lumayan Kak, masih belajar juga kok,” jawabku merendah.

“Suka merendah ya…. Ngomong-ngomong, kamu mau coba yang lain nggak?”

“Maksudnya?” tanyaku tanpa melepas pandangan dari cake yang sedang kuolesi dengan krim.

“Iya, cake yang lain. Bagaimana kalau sore nanti, kamu coba buat Symphony?”

“Symphony Chocolate? Wah, seumur hidup aku nggak pernah siram ganache! Tricky banget ya Kak?” aku meletakkan spatula dan memandang Karin dengan serius.

“Nanti kita coba saja ya, mudah kok,” rayu Karin sambil tersenyum, “Lumayan kalau kamu bisa Symphony juga. Setidaknya dua bulan kedepan aku bisa bernapas lega, hingga ada staff baru.”

“Jadi begitu, motifnya?”

“Kapan lagi, bisa punya asisten baker gratisan?”

“Kakak!!” aku mengakhiri percakapan kali itu diiringi tawa kami berdua.

 

Mencoba suatu hal baru sepertinya tidak terlalu buruk. Jika Symphony sudah dalam kuasaku, maka resep jenis kue lainnya juga lama-lama akan aku dapatkan. Hitung-hitung, aku akan buatkan versi yang enak ini untuk ulang tahun Mami Desember nanti.

 

Bersambung ke part 9

 

Daftar Istilah:

Chocolate ganache: coklat yang dilelehkan dengan tambahan susu cair dan butter.

Whipped cream: krim kental yang dikocok hingga kaku. Digunakan untuk mengisi dan menghias cake.

Kirschwasser: minuman beralkohol yang terbuat buah cherry yang difermentasikan.

 

#ODOPbatch5 #tantangancerbung #onedayonepost

 

Bakers Gonna Bake (7)

(Part 7) Mutasi

Part sebelumnya

italian-food-2157246_960_720

 

Berada disini rasanya seperti memakan Tiramisu Cake.

Manis dengan sensasi pahit kopi.

***

Mereka bilang di The Blossoms tembok punya telinga. Memang benar, gosip sekecil apa pun pasti menyebar secepat angin. Beberapa hari lalu kakak senior non fresh bilang, ada karyawan divisi pastry yang dikeluarkan setelah mendapat SP3. Jadi staff lain kini sedang harap-harap cemas menunggu keputusan HRD, siapa yang akan dimutasi. Atau malah akan ada tambahan karyawan baru.

 Aku tidak terlalu peduli dengan isu macam itu. Tidak ada pengaruh juga untukku. Toh, saat ini loyang yang harus dikerok masih sangat banyak. Sesekali Boy datang menghampiri dan mengejek. Berpura-pura mau membantu, tapi malah ngeloyor pergi ketika kusodorkan pisau dan kuas. Huh, menyebalkan!

Namun aku sangat menghargainya. Kami menjadi lebih akrab selama sebulan ini, karena beberapa kali dia mengantarku dan Indri pulang dengan mobilnya. Mami tidak keberatan, karena Boy sudah memiliki SIM. Akhir-akhir ini cowok berkacamata minus itu juga sering mentraktir kami makan siang dan membelikan beberapa bungkus koyo untukku, hehehe….

***

 

 “Frey, kamu diminta datang ke kantor produksi sekarang,” kata senior di non fresh, “yuk, kuantar” sambungnya.

“Saya? Oh, baik Kak,” aku lantas mengikutinya.

 

Waduh, ada apa gerangan hingga sampai ada panggilan dari kantor produksi? Seingatku selama ini tidak pernah ada masalah. Loyang selalu bersih, kenari dan ayam juga habis kubantai dengan pisau. Jujur, jadi ada sedikit rasa was-was. Kuikuti kakak senior hingga ke sebuah ruangan yang berdinding kaca transparan. Kulihat di dalamnya ada Pak Wali- Kepala HRD The Blossoms dan- semoga aku tak salah lihat- Marcus!

Setelah mengucapkan salam, aku memasuki ruangan sempit tersebut.

 

“Silakan duduk,” Pak Wali mempersilakan. Aku mengambil kursi, duduk di sebelah Marcus. Sejak insiden walk in chiller lalu, aku agak grogi jika harus berhadapan lagi dengan pria berwajah oriental itu. Kali ini pun, aku lebih banyak menunduk dan mengalihkan pandangan darinya.

“Freyanda Wijaya, benar kan?” sambung Pak Wali.

“Benar Pak,” jawabku.

“Maksud saya memanggil kamu kesini, terkait hal mutasi karyawan antar divisi. Sudah beberapa hari ini team pastry kekurangan personel karena ada karyawan yang kami keluarkan. Lalu setelah berdiskusi dengan Pak Marcus selaku Manajer Produksi, kami memutuskan untuk memindahkan kamu ke divisi pastry selama dua bulan. Jadi, informasi yang saya sampaikan ini hanya bentuk notifikasi, bukan penawaran. Karena kamu tidak dalam posisi untuk bisa memilih,” urai Pak Wali panjang lebar.

Aku hanya melongo keheranan. Antara senang karena bisa bebas dari rutinitas kerok loyang-iris kenari-potong ayam, tapi juga kaget karena semua serba mendadak. Ditambah lagi, Marcus sendiri yang merekomendasikanku.

“Lalu, per kapan saya mulai dipindahkan Pak?” tanyaku pada Pak Wali.

“Sekarang,” kali ini Marcus yang menjawab.

“Hah?”

***

 

Aku dan Marcus keluar dari ruangan tersebut bersama-sama.

 

“Ehm,” Marcus berdehem. Aku tahu, dia tidak sedang batuk.

“Frey, bukankah ini yang kamu mau?” lanjutnya sambil agak menunduk menatapku.

“Maksud Bapak?”

“Kalau tidak ada orang lain, uhm, maksudku kalau hanya ada kita berdua, kamu bisa panggil nama saja. Aku belum tua dan aku bukan Bapakmu.” ucapannya kali ini sungguh konyol dan hampir membuatku tertawa, “Semua orang ingin bergabung ke divisi yang kubawahi. Banyak sekali ilmu yang akan didapat selama berada disana.”

 

Aku balik menatapnya heran.

 

“Aku nggak akan biarkan sebuah potensi besar berakhir di non fresh. Kamu harus traktir aku siang ini ya!” candanya. Dengan senyum semanis itu, pantas saja banyak orang termotivasi ingin bergabung di pastry. Mengapa tidak? Pemandangan segar tersaji setiap hari. Oh Tuhan, luruskan niatku!

 

Bersambung ke part 8

 

#Onedayonepost #ODOPbatch5 #Tantangancerbung #bakersgonnabake