Sisi Lain Penggunaan Internet untuk Anak

Siapa sih yang gak ‘nggremet’ pas baca chat ini?

Yups, Cinta protes ke tantenya, karena dikirimi stiker Whatsapp yang menurutnya gak baik kalau dilihat anak kecil.

Yang paling epic adalah saat dia bilang, “nanti Bunda bakal marah kalau hapenya dicek”. 😂

Mungkin sebagian dari kalian penasaran, kenapa urusan stiker WhatsApp aja bisa jadi pembahasan panjang kali lebar di rumah kami? Huft, ceritanya panjang. Semua dimulai saat awal pandemi Covid-19, dua tahun lalu.

Penggunaan Internet Sebelum Pandemi

Saat pandemi Covid-19 mulai hadir di Indonesia, Cinta masih kelas 1 Sekolah Dasar. Penggunaan internet baginya cuma sekadar untuk menonton YouTube. Konten yang ditonton pun terbatas, seperti kartun Dodo dan Syamil, Nussa dan Rara, serta Vlog Kimbab Family.

Tentunya, semua dalam pengawasanku.

Di rumah, ada ponsel pintar yang khusus kuberikan padanya untuk kami berkomunikasi. Di ponsel itu, aplikasi browser dan media sosial semua kuproteksi dengan kunci layar yang dia gak tahu cara membukanya.

Aku gak terlalu khawatir dengan isu penggunaan internet pada anak-anak, yang ‘katanya’ seperti pedang bermata dua.

Ketika Pandemi Datang

Maret 2020 bisa dibilang merupakan titik balik buatku untuk memberikan edukasi digital yang lebih luas kepada Cinta.

Sebab, pembelajaran daring sudah menggunakan aplikasi Google Classroom (GCR), Google Meet, Zoom, dan tentu saja YouTube untuk mengakses video materi pembelajaran.

Source: cnnindonesia.com

Waktu sekolah daring juga ditentukan, sama seperti sekolah tatap muka. Jam 06.30 harus sudah mengisi presensi di GCR, lalu dilanjut pemberian materi dan mengerjakan soal hingga selesai pukul 12.00 WIB.

Masalahnya adalah sebagai single mother yang harus bekerja untuk menafkahi anak, aku gak bisa 100% menemaninya dalam proses belajar daring. Mau gak mau, suka gak suka, aku harus mengajarkan Cinta cara menggunakan berbagai jenis aplikasi itu dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Artinya juga, ia kuberikan kelonggaran dalam mengakses internet. Lalu, drama dimulai.

Manfaat Internet dan Dampak Negatif yang Ditimbulkannya.

Semenjak akses internet kulonggarkan, Cinta jadi semakin sering mengakses WhatsApp, YouTube, dan Google.

Ia boleh mengaksesnya, dengan maksimal proteksi yang kusesuaikan pada pengaturan masing-masing aplikasi tersebut. Seperti mengaktifkan mode terbatas pada YouTube, dan safe search pada Google.

Sekitar tiga bulan pertama, tidak ada masalah berarti. Cinta bisa beradaptasi dengan baik.

Ini tak lepas dari lancarnya jaringan IndiHome di rumah kami.

Rumah kami termasuk wilayah ‘pelosok’ di Jakarta. Ehm, ya gimana gak pelosok? Dari jalan raya utama sampai ke rumah jaraknya bisa sampai satu kilometer sendiri, dan lokasinya jauh lebih rendah dari ketinggian jalan utama.

Meski begitu, sinyal di tempatku gak pernah mengalami gangguan yang berarti. Sesekali ada gangguan sih manusiawi yaa. Akan tetapi, itu pun gak lama. Intinya, IndiHome ini adalah layanan digital yang paling pas untukku.

Terutama dari segi harga (worth it banget),  dan ada beragam pilihan paket dengan layanan tambahan yang bisa dipilih sesuai kebutuhan kita.

Biaya berlangganan terjangkau, mulai dari 275K/ bulan.

“Ada gak sih rasa takut, anak kecil kok dikasih akses internet yang cenderung longgar?”

Ya habis mau gimana lagi, coba? Di rumah isinya nenek kakek yang kalau pegang smart phone aja gemeteran. Paling mentok bisanya SMS dan telepon. Kalau anaknya gak diajarin, mau siapa yang urus sekolah daringnya?

Jadi please, ya. Kalian gak usah nge-judge aku begini-begitu. Bisa waras di tengah resesi aja udah alhamdulillah lho buat aku, hiks!

Oke, ehm, fokus lagi….

Belajar menggunakan fasilitas internet sejak dini, membuat Cinta menjadi sangat mudah terpapar berbagai jenis informasi. Gak hanya informasi yang memang seharusnya ia akses, tapi juga yang gak sengaja terakses.

Hal ini kejadian saat aku mendampinginya menonton YouTube. Kata kunci yang kami gunakan adalah “barbie”.

Memang yang muncul adalah video boneka Barbie, princess, dan sejenisnya. Tapi eh tapi, muncul juga Barbie dengan versi adegan lebih dewasa. Dari judulnya, konten tersebut sepertinya menceritakan proses Barbie berduaan dengan Ken dalam versi romansa, lalu hamil dan punya bayi.

Ulala… Barbie sama Ken uhuk-uhuk gaes…

Kejadian selanjutnya, yang seperti saudara-saudara pikirkan.

Cinta bertanya tentang ini-itu, adegan dewasa, dan aku bingung harus menjawab apa. Kacau!

Kira-kira, apa yang salah dari aplikasi itu? Atau sebenarnya malah aku yang belum paham sekali dengan pengaturannya, yang akibatnya bisa muncul konten dewasa pada pencarian dengan kata kunci yang seharusnya kids friendly?

Ada apa dengan internetnya Indonesia?

Mencari Solusi

Gak usah ditanya, gimana perasaanku saat itu ya….

Yang aku tampilkan di hadapannya Cinta, tentu stay cool doong. Di belakangnya? Kepingin kabur, ngumpet, terus nangis di pojokan.

Bingung eike mau jawab gimana, pemirsaaahhhhh…

Pertolongan Yang Maha Kuasa hadir lewat salah satu temanku yang merupakan seorang parenting blogger. Aku menghubunginya dan menjelaskan duduk permasalahan yang kualami. Alhamdulillah, ia dapat menenangkanku yang kebingungan. Serta memberikan masukan tentang gimana caranya menjawab berbagai pertanyaan ajaib seputar seksualitas.

Akhirnya, dari perkara internet itu, aku mulai memberikan pendidikan seksual yang lebih detail pada Cinta. Yaitu dengan menjelaskan tentang hubungan seksual dan proses perkembangbiakan manusia. Tentunya melalui pendekatan otak kiri (ilmiah).

source: tuturma.ma

Serem ya bayanginnya? Hehehe, gak usah dibayangin!

Buat kalian yang punya bocil, nanti akan ada waktunya juga deh, kalian merasakan apa yang seperi aku alami, ngiaaahahahahh (tertawa licik).

Gak lupa, aku pun menjelaskan tentang konsep pernikahan, hak dan tanggung jawab di dalamnya, serta nilai-nilai/ norma mengenai batasan hubungan dengan lawan jenis.

Huhuhu… Beraat… Beraat…

Tentang Chat WhatsApp

Lalu, bagaimana dengan chat WhatsApp yang kuceritakan di awal tulisan ini?

Gak berhenti di perkara Barbie dan Ken, sodara-sodara.

Ternyata Cinta juga mendapatkan kiriman stiker Whatsapp dari teman-temannya, dan beberapa kali juga dia forward dari ponselku. Bukan stiker orang dewasa, melainkan stiker konyol (guyon) yang menurutku lebih bijak jika digunakan untuk anak usia 13+ atau kategori remaja.

Ini kuketahui setelah beberapa kali Cinta mengirim pesan WhatsApp untukku, disertai stiker-stiker guyonan seperti itu.

Setelahnya, aku tegur dia dengan halus (iya, halus, gak sambil marah-marah kok…) dan memintanya untuk menghapus stiker yang sudah terlanjur ia simpan.

Semenjak saat itu, Cinta selalu meminta izin jika ia ingin menyimpan stiker yang dikirimkan orang lain padanya

Seperti pada chat di atas, Cinta bilang, “Tante gak boleh kirim stiker yang gak bagus dilihat sama anak-anak.” 🤣

Biarlah jika motivasinya untuk saat ini masih sebatas takut nanti Bunda marah. Yang penting dia paham dulu konsepnya, mana yang boleh dan mana yang dilarang.

Hikmah di Balik Batu (eh Kisah)

Itulah yang kumaksud dengan internet ibarat pedang bermata dua. Dibalik berjuta manfaat kebaikannya, selalu ada kekurangan yang menyertai.

Semua tergantung bagaimana penggunanya akan seperti apa memanfaatkannya.

Apakah untuk kebaikan, atau keburukan?

Sebagai orangtua (baca: single parent) yang tidak melakukan co-parenting, aku juga gak mau terlalu keras dengan diri sendiri. Aku harus terbiasa dengan keterbatasan ini, dan menjadikannya tantangan yang selalu bisa ditaklukkan.

Jika sesekali aku tersandung saat mendidik anak, apalagi yang terkait dengan penggunaan internet, aku gak akan patah arang. Justru dari sandungan itu, dijadikan pelajaran berharga untuk lebih berhati-hati lagi.

Aku akan terus memberikan pemahaman ke Cinta, agar selalu bijak dalam menggunakan pedang bermata dua ini. Semangat!

Eh ya, kalau kalian punya pengalaman serupa tentang parenting dan internet, boleh doong sharing di kolom komentar. Thank you!

Tinggalkan komentar