Celoteh Malam

Cinta itu rumit ya?

Eh, cinta itu selalu sederhana. Yang rumit adalah manusianya. Prinsipnya, kalau ada yang susah, mengapa harus pilih yang mudah?

Jika seorang kawan mengalami kerumitan cinta, aku menasihati dengan mengatakan, “Cukup, tak usah dilanjutkan.”

Dari sisi manusia netral yang tidak dimabuk asmara, tentu lebih bisa berpikir jernih. Tapi bagaimana jika justru kita yang sedang kepayang karena cinta? Buta, bukan?

Aku juga pernah mengalami patah yang benar-benar patah.

Tak mengapa jika ia memang ingin menyudahi semua. Bukankah cinta memang tak bisa dipaksakan? Siapa aku yang begitu keras kepala memaksanya tinggal, jika ia tak berkenan?

Yang membuatku menyesal adalah keadaan kami yang tidak baik-baik saja saat semuanya selesai.

Andai saja waktu itu ia tak memberi makan egonya terlalu banyak, mungkin hingga hari ini kami masih bisa berkomunikasi dengan baik. Nyatanya? Lebih mudah berkomunikasi dengan ikan di akuariumku, ketimbang dengannya.

Jika setiap saat rasanya hanya berjuang sendirian, buat apa? Seperti menginjak lapisan es tipis di tengah danau, hati tak tenang menunggu bagaimana akhirnya jika aku salah bergerak.

Ketika cinta hilang arah, lupa bahwa yang harus lebih dicintai adalah tubuhnya sendiri ketimbang manusia lain, itulah awal dari bom waktu yang bisa merusak jati diri.

Akhirnya sekali lagi, keputusan harus dibuat. Terima, atau sudahi lalu beranjak pergi, memulai cerita baru dengan dia yang (insya Allah) lebih baik.

Dari awal perkenalan, cara mencintai, proses penjemputan, semua terpuji. Proses yang mampu menjadikanku manusia yang senantiasa bertumbuh, dan lebih baik dari versi sebelumnya.

Inilah aku, yang sedang belajar untuk memulai lagi. 🙂

Welcome to 2022

Happy New Year 2022: Kumpulan Ucapan Selamat Tahun Baru 2022 Halaman all -  Kompas.com

Sudah telat belum sih, kalau menuliskan resolusi tahun 2022 di tanggal segini?

Biasanya, aku tulis resolusi sejak akhir Desember di tahun sebelumnya. Huft.. Tahun ini terasa sekali kalau aku semakin sedikit menulis di blog, karena satu dan lain hal. Hey, bukankah manusia memang ahlinya membuat alasan? Hahaha…

Sebenarnya, aku termotivasi menuliskan resolusi ini bukan karena riya’, sombong, atau gaya-gaya saja. Melainkan berkaca dari pengalaman tahun lalu, bahwa banyak harapan yang tercapai karena aku tahu dengan jelas apa yang kuinginkan. Dengan cara menuliskannya, maka harapan-harapan tersebut akan tertanam di alam bawah sadar dan menjadi do’a.

Selain itu, aku bisa melihat kembali target-target yang kutetapkan tersebut dengan membacanya di blog.

“Sudah bulan apa? Sudah apa saja yang tercapai? Jika belum, bagaimana usahaku untuk mewujudkannya?”

Yup, dengan menuliskannya, aku akan semakin termotivasi untuk membuatnya menjadi kenyataan sebelum tahun berganti kembali.

Yuk, sekarang kita fokus tulis apa yang menjadi resolusiku di tahun 2022.

Konsisten promosi dagangan Bundanyacinta Bakery setiap akhir pekan.

Cuan, cuan, cuan.

Kenapa sih getol banget cari cuan? Kan udah punya pekerjaan tetap?

Begini ya, Saidi, Markonah. Saya kan single parent, anak makin besar, yang otomatis keperluan juga makin bertambah. Sebentar lagi (gak berasa looh) bocil bakal masuk SMP. Yaang dimanaaaa bakal banyak keperluan anah-onoh-begini-begitu, meski tekadku menyekolahkan anak ini di negeri, sampai dia kuliah nanti, pokoknya wajib negeri. Bahkan akan ‘kuracunin’ dia dengan mindset ‘cari scholarship‘ yang fully funded supaya dia bisa study abroad wkwkwkwk.

Udah mulai sering kepo-in akun IG Schooters 😬

Selain itu, aku juga suka banget jajan. Entah itu beli makanan kayak batagor di ujung gang, mie ayam di Jl. Karya, atau juga beli skincare, make up, sepatu, dan rok-rok lucu di departement store. Jadilah itu motivasi untuk makin rajin cari cuan tambahan. Kalau kata orang itu, “Mumpung masih muda.”

Mulai Lirik-Lirik Kemungkinan Beasiswa Fully Funded S2

Eh ya, ini juga masuk ke resolusiku di 2022.

Jika kesempatannya baru bisa di tahun berikutnya, ya gak apa-apa. Tapi yang penting, aku sudah punya gambaran ‘harus ngapain dulu, nih?’

Sebab salah satu impianku sejak kecil adalah menjadi guru (dosen). Bisa bagi-bagi ilmu (karena aku senang belajar), dan juga profesi ini bisa dilakoni sampai usiaku gak muda lagi. Intinya, aku butuh sesuatu supaya di masa tua bisa tetap aktif, bergaul, dan gak pikun (amit-amit).

Masukin Cinta ke Pengajian Al Kautsar

Sepele, kedengarannya. Tapi IT’S MY DREAM.

Dekat sekolahnya Cinta ada masjid besar yang di dalamnya ada kegiatan sekolah agama Islam di siang hari. Yang dipelajari tak hanya sekadar membaca Al Qur’an dan menulis huruf Arab, tapi lebih kompleks. Kurikulumnya terstruktur rapi, meliputi Tahfidz, Tahsin, Tajwid, Fiqh, Sejarah Islam, Bahasa Arab, dan Tadabbur Qur’an.

Masjid Al Kautsar, Gandaria Utara.
Ruang kelasnya ada di lantai dua masjid.

Pengajarnya juga tidak main-main, melainkan para Ustad dan Ustadzah yang tersertifikasi pendidikannya. Dulu, adikku belajar di sini selama empat tahun. Alhamdulillah sampai sekarang dia memiliki pemahaman agama yang baik, dengan pergaulan yang terjaga. Saat ini sudah tidak di sana karena sudah dewasa, dia pindah dan berguru langsung ke para Habaib.

Mengapa Cinta gak dari dulu didaftarkan ke sana?

Pan-de-mi.

Selama dua tahun (selama pandemi) aku gak mengikuti update perkembangan Kegiatan Belajar Mengajar Mereka. Niatnya, di bulan ini aku akan cari informasi, kapan KBM tatap muka di sana bisa dimulai lagi.

Saat ini Cinta sudah pertengahan Iqro’ jilid 6. Aku sendiri yang mengajarinya sampai berdarah-darah di rumah. Capek Buund, kalau sudah masuk pra-Qur’an, mengajarnya sudah mulai beban mental. Takut ada salah, bahaya.

Move On dari Zona (yang katanya) Nyaman

Waah apa tuuh? Insya Allah, doakan yaa.

Mungkin aku butuh sesuatu yang lebih setimpal, lebih membuatku ber-flower, lebih minim drama, lebih positif, dan bertemu orang-orang baru. Sekaligus membuka peluang bertemu jodoh, AAMIIIIN….

Kita gak pernah tahu, apa yang menanti kita di luar sana, jika gak berani nekat mencoba. Ya gak?

Panas kali telingamu, Min….

Gak Putus Berdo’a, Tapi Juga Lebih Mindfulness

Dalam hal apapun, aku bertekad untuk lebih bisa ikhlas.

Di tahun 2021, aku ngerasa ‘serakah’. Mau mendapatkan apa saja yang menjadi daftar inginku. Jika tidak kesampaian, aku bisa stress banget sampai jatuh sakit. Tahun ini, aku bertekad untuk lebih “ya udah sih.” Bukan karena lemah, effortless, tapi lebih ingin semuanya berjalan dengan ringan, tanpa rasa terbebani.

Five reasons why mindfulness should become part of your daily routine –  Australian College of Nursing

Dalam hal jodoh, misalnya. Kalau bukan dengan si A, lagi-lagi “ya udah sih”. Berbaik sangka sama Allah, niscaya ada yang lebih baik, dan lebih segala-galanya dari dia.

Dalam hal pengasuhan anak, gak perlu idealis-idealis amat. Anak sakit, ya bukan karena aku gak becus ngurus, tapi memang musimnya aja yang lagi gak bersahabat. Anak tantrum, bukan berarti aku yang gak bisa dekat dengan anak, tapi ya memang masih butuh banyak bersabar untuk belajar lagi, gimana bisa bersahabat dengan ‘ke-aku-an’ anak yang mulai beranjak gede.

Kurang lebih begitu.

Makin Rajin Aktif di Komunitas

Tahun ini wajib bisa lebih total ‘hadir’ membersamai mereka. Baik secara daring maupun tatap muka. Niatku juga tahun ini harus bisa ketemu di kopdar nasional. Aku mau banyak ngobrol dan bertukar pikiran dengan para senior di dunia kepenulisan.

Sudah kebayang deh, kopdar rasa kuliah 6 SKS 🤪.

Renovasi Rumah di Parung

Kalau ini, sudah berjalan sedikit-sedikit dari pertengahan tahun 2021.

Alhamdulillah, yang ngontrak orangnya baik banget dan mau ngertiin keadaanku yang gak bisa sekaligus rombak rumah simsalabim jadi bagus banget. Sedikit demi sedikit, rumah juga jadi lebih cantik dan nyaman ditinggali.

Beliau juga bersih, rajin, dan yang paling aku senang adalah rumahku jadi adem karena setiap hari dipakai sholat dan ngaji. Insya Allah rumah dan penghuninya berkah. 🤲🏻😇😇

Aku gak muluk-muluk harus selesai sempurna dalam waktu cepat, yang penting bisa nutup bagian belakang dan menghijaukan teras depan rumah.

5 Quote Inspiratif Penulis Ini Bisa Jadi Penyemangatmu di Awal Tahun

Jujur, 2021 merupakan tahun yang rasanya nano-nano buatku. Ada manis, manis banget, asam, pahit, pahit banget, bikin baper, melambung banget, bikin “gedek”, benci banget, macam-macem lah pokoknya.

Tapi alhamdulillah, 80% targetku di 2021 tercapai.

Yang paling bahagia adalah aku bisa lulus kuliah dengan predikat cumlaude, meraih predikat Best Paper for Creative PR Category, dan wisuda di bulan yang sama dengan pengumuman kelulusan. Prosesnya GILAAA kayak orang dikejar setan reog :(((

REOG, Sebenarnya Pake Setan atau Kekuatan Manusia?
Kalau reog nya begini sih, lucu.

Nguras pikiran, tenaga, emosi, lahir batin pokoknya ngebatin!

Tahun 2021 juga membawa beberapa kejutan manis dan menghadirkan orang-orang yang spesial di hidupku. Ada yang sedingin kulkas, ada yang hangat namun hilang arah, ada juga yang membawa peluang-peluang baru dalam rezeki dan pertemanan. Semuanya luar biasa.

Whusss, sudahlah, bagaimana pun absurd nya 2021, aku tetap BERSYUKUR.

Semuanya jadi catatan terindah buat perjalanan hidupku. Kalau gak ada 2021, gak akan ada seorang Florensia yang super random dan bisa keras kepala untuk bertahan di 2022.

Iya kaan? Iya doong…

Hehehe, semangat juga untuk kalian yaa!!! I love youuu all!! ❤️❤️❤️

Keputihan Karena Stress dan Kelelahan, Harus Gimana? (Part 2)

Waduh, bersambung nih ceritanya?

Hehe, iya, bersambung. Karena dampaknya lumayan juga. Gak sampai tunggu seminggu untuk kontrol, di hari keempat observasi, aku udah mengibarkan bendera putih.

Senin malam tidur-kebangun entah berapa kali karena gatal (meski nyeri udah berkurang) baru bisa agak pulas menjelang subuh. Pagi harinya gimana? Bayangin aja deh, kayak zombie.

Lalu memutuskan untuk kontrol lebih awal.

Jadi, saudara-saudara… Lanjutan dari ceritaku berobat ke klinik dengan dokter yang lain (bukan dokter yang biasa handle aku dan Cinta) memang unik.

Entah karena sugesti atau apa, tapi aku merasa kalau perkara dokter itu jodoh-jodohan.

Maksudnya adalah, yang pas buat orang lain belum tentu pas di aku. Yang bagus menurut orang lain belum tentu bagus buat aku. Gak mesti mahal atau murah (karena sebelum kenal dokter yang ini, aku berobat ke dokter non fasilitas kesehatan/ fakes BPJS).

Aku gak bilang kalau dokter yang tangani aku sebelumnya gak qualified loh ya. Cuma gak klik di aku.

Intinya, berobat ke dokter di fakes yang sama pun cocok-cocokan. Sekalinya ketemu sama yang cocok, rezeki banget deh.

Nah, alhamdulillah kali ini ketemu sama dokter yang aku cocok dari dulu. Yeey! Namanya dokter S.

Orangnya sabar, asli sabaar banget. Pertama kali aku ditangani sama dia adalah saat awal-awal sidang cerai dulu (aku ini rentan stress, dan kalau udah ‘nedas’ tuh gak pake babibu langsung ambruk).

Dia pinter banget ngulik dengan cara yang halus 😅. Gak bisa bohong deh kalau udah ketemu dia. Pengobatannya juga RUM.

Eh, apa itu RUM? Aku jelasin dikit ya, RUM adalah penggunaan obat yang bisa digunakan secara rasional sesuai dengan tiga indikator.

Yaitu tepat indikasi (sesuai dengan diagnosis), tepat dosis, dan bisa didapat dengan harga termurah alias generik.

Bukan karena aku berobat pakai kartu sakti ya, makanya dapat generik. Hampir semua spesialis non BPJS yang cocok di aku dan keluarga juga alhamdulillah dokter yang pro RUM ☺️.

Intinya, dokter ini gak lebay kalau kasih obat. Kalau memang gak perlu, dia gak akan resepkan.

Contoh, aku bilang kalau gatalnya kebangetan. Kupikir, aku bakal dikasih salep atau antihistamin yang lebih manjur, ternyata tydac.

Katanya, “Inti permasalahannya adalah keputihan. Gatal dan nyeri adalah reaksinya, jadi apa yang harus diobati? Akarnya. Hilangkan keputihannya.”

Hiks, pingin nangis, berasa dijitak. Setelah ngeyel dan adu argumen, “Kalau di kantor kan ribet, dok, gatalnya ganggu,” dia kasih aku beberapa butir aja, tapiii dengan catatan hanya diminum kalau benar-benar kepepet.

Setelahnya, dokter ini berhenti ngomong sebentar. Turunin suhu AC, rada mendekat ke aku, lalu nanya begini.

“Mungkin gak sih, ada peran hormonal di sini? Lagi banyak yang dipikirin ya? Stress? Percuma dikasih obat, tapi sumber stressnya gak dikendalikan.

Dia gak nge-judge di awal kalo inti permasalahannya ada di hormonal. Tapi mancing pasiennya buat “ngaku” dan cerita.

Iya, curhat.

Yang ditanya (aku) cuma bisa meringis, sambil bilang, “Iya, sih dok..”

Heu. Dook andai kau tahu..

Berhubung sumber stress nya adalah hal yang tidak bisa dipublish, ya sudah tidak bisa dilanjut ke sesi curhat. 🤧

Yang penting udah ngaku, kalau ada faktor X yang bikin penyakit perempuan ini betah berlama-lama diam di tubuhku.

Hari ini, gak ada sesi deep talk sama dokter. Aku diberi obat minum, sebagai pengganti tablet ovula (alhamdulillah, gak ada lagi adegan horor masukin kapsul obat ke vagina 😭), dan beberapa butir antihistamin yang cuma diminum kalau kepepet.

Gimana rasanya setelah minum obat baru?

Alhamdulillah gatalnya sudah jauuuh berkurang, ditambah aku juga cukup istirahat.

Sehari setelah kontrol, aku udah ngantor lagi. Gatal hanya terasa sedikit saat sore hari (artinya adalah memang belum bisa ‘capek’ dulu), nyeri sudah tidak ada.

Eh ya, aku bertekad mau kurangi aktivitas yang bikin emosiku gak stabil. Termasuk diantaranya adalah scroll medsos. Inilah yang bikin aku isi blog lagi, untuk healing dan curhat dengan nuansa yang lebih adem.

Sebab di blog aku merasa paling tenang. Komentar kumoderasi, dan tidak ada godaan untuk mengetahui traffic.

Kan aku blogger random, yang belum dimonetisasi. Jadi ngapain juga aku cek traffic. 😂

Aduuh payah ih, padahal temen-temen seperjuanganku sudah dotcom dan pasang adsense semua.✌🏻

Seperti kata dokter S, percuma berobat kalau sumber stress nya gak bisa dikelola. Jadi, harus pinter-pinter kelola stress, dengan cara menulis.

Kenapa gak curhat ke manusia?

Aku gak ngerti mau curhat ke manusia yang mana, yang model apa. Kasian genk rempong, beban hidupnya udah banyak. Makin puyeng kalau ditambahin ocehan gak jelas dari aku wkwkwk… 😂

Ehm, gak cuma itu, sih, sebabnya.

Gak semua orang yang mendengarkan, benar-benar paham caranya mendengarkan. Padahal, kalau sudah cerita, artinya kita udah percaya kan.

Menaruh kepercayaan kepada orang lain itu sulit, buatku. Jadi kalau udah sekali cerita, terus responnya kurang enak, sotoy, atau malah kasih saran tanpa kuminta, ya sudahlah. Kita beda frekuensi, sesederhana itu. 😄

Kembali ke blog, sudah banyak yang terlintas di kepalaku, apa yang akan kutulis lagi.

Mulai dari merapikan tumpukan draft tulisan yang gak kunjung selesai, hingga resolusi 2022 dan pencapaian di 2021. Serta ucapan terima kasih untuk mereka yang sangat berjasa untuk membuat hatiku hangat di tahun yang luar biasa ini.

Oh iya, kulit wajahku juga lagi breakout. Sebab siklus menstruasiku kacau balau akibat keputihan ini. Nanti, setelah keputihan ini 100% sembuh, kita bahas soal skincare murce dan tips buat sembuhin breakout, ya.

Hihihi….

Salam sayang untuk kaliaan…. ❤️❤️❤️❤️

Yang memang rajin baca tulisanku, atau cuma kepoin orangnya lewat tulisan.

Hati-hati, jangan kelewat penasaran, nanti jatuh cinta. ❤️😆

See you! Muach muach muach!!

Dua Hari Menuju Tiga Puluh Satu

fountain-pen-1851096_960_720

 

Apa yang membuat hari ini istimewa sehingga saya begitu ingin mengabadikannya di dalam sebuah tulisan? Hum, tidak ada yang berlebihan. Hanya saja, dalam satu hari ini saya pergi ke tempat-tempat biasa yang memiliki kesan luar biasa.

***

Dimulai dari perjalanan pagi menjelang siang, mengunjungi ayah seorang teman baik yang tinggal menunggu hari operasi bedah kepala untuk mengeluarkan tumor otak yang sudah merenggut separuh kesadarannya. Dokter menyatakan, setelah dioperasi nanti (tanpa mendahului kehendak Tuhan) kemungkinan bertahan hidup yang dimiliki hanya 50%.

Teman ini bercerita sambil menahan isak tangis dengan mata yang berkaca-kaca. Saya bersahabat dengannya sejak 15 tahun lalu. Kami tetap menjadi teman baik bahkan setelah  menikah dan memiliki anak. Demikian dengan kedua orangtuanya. Kami rajin bersilaturahmi satu sama lain. Dia orang paling tegar diantara kami. Jadi, jika ia hampir atau benar-benar menangis, artinya saat itu ia begitu rapuh. Tapi kali ini ia masih bisa tertawa satir-bahkan ia bilang, selepas hari Senin nanti tidak tahu tawanya akan berubah menjadi tangis atau tidak. Sejenak diri ini merasa sangat kecil, apa yang saya alami masih berada jauh di bawah level ujian yang ia alami sekarang.

Dengan telaten, teman ini mengajak ayahnya mengobrol-meski tanpa ada respon balik-, menyuapi makan, memberi minum, dan menyeka. Saya pikir inilah jalan yang diberikan Tuhan untuk dia dan dua adiknya yang semuanya perempuan untuk merawat sang ayah. Hati ini berkaca, apakah saya sanggup melakukan hal yang sama jika menjadi dia? Atau, saya akan menolak dan langsung menunjuk kedua saudara saya (mereka laki-laki) untuk merawat beliau? Entahlah, sungguh tidak berani membayangkannya.

Jika keadaannya sudah seperti ini, apa pun tindakan medis yang dilakukan setidaknya sudah memuaskan rasa penasaran dan keinginan keluarga dalam mengupayakan kesembuhan sang ayah. Bagaimana hasilnya nanti, saya mendoakan selalu yang terbaik. Tuhan tentu lebih mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-Nya.

Cerita tentang rumah sakit usai. Setelah dzuhur saya sampai di rumah. Si kecil sudah menunggu saat-saat menuntaskan rindu. Sumber kebahagiaannya tak mahal, cukup berjalan-jalan, bermain air mancur di taman, dan membeli ayam goreng tepung di kedai pinggir jalan. Senyum terukir di wajah bulatnya, dengan pipi merona beraroma susu-selalu cantik. Beberapa bulan ini kami kehilangan banyak quality time karena tugas akhir perkuliahan. Hari ini, hutang itu saya bayar meski sepertinya belum sepenuhnya terlunasi.

Kami pergi ke Taman Puring, yang baru beberapa bulan lalu usai direkondisi hingga tampilannya semakin baik.

Mama berkelakar, “Dulu Bundanya kecil dibawa main ke sini. Sukanya ngumpulin biji karet buat diadu. Sekarang anaknya juga dibawa main ke sini. Pohon karetnya sudah tua, jadi nggak ada bijinya lagi.”

Saya tertawa. Sudah 31 tahun kurang dua hari saya menghirup udara Jakarta. Lahir dan besar di kota ini benar-benar sebuah berkah. Mengunjungi tempat yang sama, dengan kesempatan yang berbeda setelah bertahun-tahun berlalu selalu menyisakan sebuah cerita. Salah satunya dengan Taman Puring.

Pengalaman berkeliling taman sambil digendong di pundak Papa, mengumpulkan biji karet yang jatuh berserakan di tanah, makan pisang dan dua bungkus cokelat silver queen, menunggu bus PPD nomor 10 jurusan Blok M-Senen untuk pulang ke rumah kami di Bendungan Hilir, berpura-pura tidur saat bus melewati terowongan arah semanggi, dan menatap kagum tugu monas. Semua seperti putaran film hitam putih yang hampir memudar di kepala.

 

brownie-4020342_960_720

 

***

Rindu masa-masa itu.

Saat hidup begitu sederhana, tanpa pemikiran rumit. Yang ada hanya tawa canda, bebas lepas. Saat yang dirasakan hanya manis dan lembutnya masa kanak-kanak, seperti permen kapas.

 Selalu seperti itu, berulang setiap hari.

Tapi, hidup terus berjalan. Melewati berbagai cerita naik-turun, pasang-surut, memiliki-melepaskan, serta tak sempat memiliki lalu belajar melupakan. Hahaha… Absurd.

Dua hari lagi, bilangan tahun usia saya berkurang. Ganjil 31 tahun di tanggal sembilan Maret pukul sepuluh malam. Apa yang saya miliki untuk bekal menghadapNya? Hanya saya dan Tuhan yang tahu.

Terima kasih untukmu, tubuh dan jiwaku. Kita sudah sama-sama memperjuangkan yang terbaik satu tahun belakangan. Aku masih berhutang banyak untuk membuatmu lebih berbahagia dalam kata syukur.

Kepada tubuh, pikiran, dan hatiku. Terima kasih.

Nanti malam, ayo merayu Tuhan agar berkenan memanjangkan usia kita.

Supaya bisa lebih baik dan semakin bermanfaat untuk orang-orang yang kita cintai.

Selamat (menuju) tiga puluh satu.

Selamat menua.

Itu saja.

***

 

07032020, dengan senyum yang selalu menghiasi hari.

Resensi Buku Semester Disaster: Cerita Mahasiswa Konyol

557673320423bd94068b4567

Data Buku

Judul Buku     : Semester Disaster: Cerita Mahasiswa Konyol

Pengarang      : Zakky Ramadhany

Penerbit         : Bukune

Tahun terbit  : 2011

Tebal buku     : 185 halaman

ISBN               : 602-8066-84-2

Kata siapa menjadi mahasiswa itu mudah? Kalau tidak percaya, silakan baca buku ini. Kita akan diajak mengikuti kisah mahasiswa yang jungkir balik mengerjakan tugas yang katanya “segambreng” sambil tetap eksis di banyak kegiatan kemahasiswaan.  Lantas, tak kelupaan: perkara cinta di kampus yang kisahnya selalu merah jambu.

***

Dengan gaya bertutur yang sederhana namun menggelitik, Zakky Ramadhani menuliskan warna-warni dunia kampus dengan begitu mengalir. Bagian pertama buku ini dimulai saat si tokoh utama-Egi-mulai menginjakkan kaki di bangku kuliah. Serta perkenalan dengan beberapa teman baru yang ajaib dan unik. Mulai dari seorang keturunan Jawa dengan nama yang panjang hingga mungkin ijazahnya bisa selebar koran, lalu ada juga seorang teman yang jika siang dan malam memiliki nama berbeda.

Nah loh, gimana maksudnya?

Jadi begini ‘Dek. Kalau siang namanya Tiar, kalau malam berubah jadi Tiara. Menurut Egi, hal-hal seperti ini bisa membahayakan kelangsungan regenerasi anak bangsa. See?

Di tengah cerita, kita dibawa penulis untuk menyelami berbagai kegiatan kemahasiswaan yang terkait jurnalistik dan kepenulisan. Bagaimana Egi memulai kariernya sebagai penulis meski ia kuliah di jurusan ekonomi (baiklah-saya pikir Egi bisa jadi pengisi rubrik ekonomi di surat kabar). Berpartner dengan sahabat karibnya yang juga memiliki hobi ‘bukan anak ekonomi banget’. Yaitu fotografi dan modusin mahasiswi fakultas sebelah. Dari kegiatan peliputan berita yang giat dilakukannya, Egi mulai menemukan makhluk manis yang mampu membuatnya panas dingin, berdebar-debar, sesak napas, nyeri sendi, kaku leher, tidak bisa tidur, bahkan pingsan.

Eh, memang si Egi kenapa ya? Malaria atau terinfeksi virus corona? Wkwkwk.

Penasaran bagaimana akhir ceritanya? Baca sendiri saja ya. Tapi, saya juga tidak tahu buku ini masih dijual atau tidak. Karena keluaran 2011 dan saya menemukannya di Perpustakaan Umum Jakarta Selatan. Di sini masih ada sekitar lima eksemplar kok 🙂

Tidak ada yang salah dari buku ini, hanya menurut saya tema dan cerita yang diangkat terlalu ringan. Jadi, untuk kamu yang biasa baca buku fiksi dengan konflik naik turun seperti roller coaster sampai hampir kejang-kejang, turunkan ekspektasi saat baca buku ini ya. Semester Disaster pas banget dibaca untuk kamu yang ingin ‘ngademin’ otak dari kehidupan duniawi yang kadang tidak bisa diajak bercanda.

Dah gitu aja resensinya.

Selamat hari Sabtu!

Salam manis dari Floren yang tidak kalah manis, fans berat Glenn Fredly-si keren yang eksotis.

XOXO-15022020

Roller Coaster dan Manusia Sempurna

Matahari, kau tahu apa perbedaan roller coaster dan manusia sempurna?

***

Roller coaster bisa membuat jantung siapa pun berdegup kencang dan dianalogikan sebagai kondisi kehidupan yang kadang naik, rata, lalu menukik tajam. Itu adalah keniscayaan yang pasti ada. Tapi, bagaimana dengan manusia sempurna? Tidak pernah ada.

Aku diingatkan oleh Grace yang berdoa setiap malam. Dia bilang, pertolongan Tuhan itu dekat. Tapi, aku tak paham mengapa akhir-akhir ini Tuhan terasa begitu jauh. Coba kupikirkan.

Sepertinya ini karena beberapa hal, diantaranya cita-cita, keinginan, harapan, dan keterikatan emosiku pada sesuatu (termasuk kamu) tak Dia izinkan untuk menetap di genggaman.

Yang kuinginkan dijauhkan. Yang kuharapkan ditunda. Yang kucita-citakan dibuat abu-abu. Seperti katamu, abu-abu adalah ruang diantara hitam dan putih. Tak jelas apa, kapan, di mana, dan bagaimana.

Sekarang roller coasterku hampir menuju ke titik paling rendah. Menukik dari jarak tertinggi dengan sangat tegas. Mataku terpejam, tak berani melihat karena takut. Sebelumnya, ia hampir naik sampai titik yang kupikir sudah cukup tinggi-tapi ternyata tidak.

Sepertinya aku perlu berbenah. Mulai bertanya kapan akan mulai bercerita dari hati ke hati dengan Nya. Mengingat kapan terakhir pagi hariku diwarnai dengan doa yang damai. Memasang alarm di dua pertiga malam, untuk bercengkrama dengan Dia Yang Maha Hidup.

Itu satu.

Lalu, tentang manusia sempurna.

Tidak ada yang sempurna. Tidak ada yang cantik, jelek, tampan, bodoh, atau pintar. Yang ada hanya mereka yang memilih bersih atau kotor, malas atau rajin, rapi atau berantakan, serta tentang preferensi.

Di matamu tampan, belum tentu bagi orang lain. Pun di mataku cantik, belum tentu kau beranggapan sama. Karena itu murni standar yang dibuat oleh manusia. Bisa berbeda kadarnya.

Setiap dari kita punya cerita. Kau tak sempurna, sama sepertiku. Tapi aku percaya, dibalik cerita-cerita kelabu di sisi topeng manusia, pasti ada sisi yang manis dan lembut untuk dinikmati, seperti sebuah permen kapas.

Kau ingat, aku tak pernah melihat bagaimana sisi luarmu. Tapi kagum pada caramu melihat dunia, bertutur, dan melampaui batas kemampuan diri dalam sebuah konteks tanggung jawab. Bukankah caraku menilaimu sudah benar?

Oya, jangan cemas, aku baik-baik saja. Aku masih bisa tetawa di atas roller coasterku, bersama sebuah titik yang tidak sempurna. Sama seperti kita.

 

11022020

Jomlo dan Ajakan Seminar Pranikah

WhatsApp Image 2020-01-26 at 11.13.08

Good afternoon, sunshine 🙂

Hari ini saya lagi melarikan diri dari segala hal yang bikin jantung dipaksa olahraga kardio: tuntutan mencari jurnal rujukan, tektokan dengan penerbit, dan ngobrolin personal branding sama anak-anak Nulis Aja Community di whatsapp group buat jualan buku di IG. Ahahahah… Jualan kok niat gak niat, gimana ini? *Tepok jidat.

***

Terus apa hubungannya sama gambar tangkapan layar itu? Nggak ada sih, cuma random. Yaah, jangan serius banget gitu lah. Saya biasa random kalau kebanyakan pikiran dan deadline. Seperti dulu, saat deadline naskah-ampun-tinggal dua hari. Kan pusing tuh, deg-degan sampai sesak napas, ujung-ujungnya bingung mau ngapain. Akhirnya saya malah gabut seharian: ke bioskop, ikut seminar, dan buka puasa bersama teman-teman kampus.

Efeknya? Alhamdulillah, esok harinya dua bab naskah kelar. Ngiaaahaahaa.

Soo, teringatlah pada chitchat di grup ciwi-ciwi yang semangat banget cari ilmu apapun. Catat: APAPUN.

Mulai dari ilmu masak-memasak, cara buat stiker di whatsapp, ghibah gacoan baru, sampai seminar pranikah.

What? Seminar pranikah? Ew…

Berat ya?  Sebetulnya bagus, kalau datangnya berdua dengan pasangan atau calon pasangan. Kalau sendiri? Baca aja deh tanggapan saya di chat tersebut.

Ini bukan karena malas belajar, tapi saya berpikir bukankan belajar bersama akan lebih menyenangkan. Terlalu banyak teori juga lama-lama bikin malas sendiri. Mau mulai hubungan baru saja rasanya capek, apalagi harus duduk manis di banyak sesi untuk mendengarkan sharing-sharing yang monoton itu?

Come on, masih ada youtube channelnya Jose Aditya dan Setia Furqon Khalid yang bisa dipelajari kapan saja. Sambil makan mie instan dengan cabai rawit merah, atau sambil ngegelosoran di karpet ruang tamu.

Dasar pemalas. Hahaha.

Keengganan mengikuti seminar macam itu juga semata-mata karena sampai saat ini saya masih diberikan kesempatan untuk bebas-sebebas-bebasnya alias jomlo. Iya lah, bebas wajib lapor tiap tiga jam sekali, bebas dari keharusan minta izin kemana-mana, bebas mau ngapain aja-selama masih bertanggung jawab. (Pacarnya dulu RT atau hansip, pakai wajib lapor?)

Yang miris adalah saat kita sudah tahu ilmunya, sering ikut seminar, tapi masih saja sulit menjaga hati (baca: baperan). Anggota WAG tim receh juga sudah pada khatam ilmunya, tapi masih saja gagal urusan baper dan jaga hati. Yah, namanya juga perempuan, hobinya main perasaan, eh.

Kan saya sudah pernah bilang, cari pasangan yang sepadan, siap, dan mampu itu sulit. Lebih sulit dari mencari jurnal rujukan di laman onesearch.id milik Perpusnas. Apalagi jurnalnya harus punya variabel x, y, z yang sama dengan topik penelitian kita. Kalau gampang, sih, nggak bakalan WAG tim receh terbentuk dan tumpah ruah dengan curhatan gaje-nya. Gitu.

Jadi Bang, Mas, Akang, Uda, or whatever I will call you later…. Entah kapan later-nya itu terjadi, only God knows. Kalau sudah ketemu saya dan merasa sepadan, siap, dan mampu, sok atuh disegerakan. Saya cari suami, bukan pacar.

Tinggal bilang ke saya, “Ayo kita jadi partner, kerja sama, membangun visi, misi, dan tujuan yang sama. Tumbuh belajar dan menua bersama, memastikan keturunan kita bangga telah terlahir dari keluarga yang solid dan penuh cinta, kelak.” Ihir…

Yah, se-simpel itu. Tak menuntut kata-kata manis, termehek-mehek, dan penuh basa-basi tak perlu. Tapi, kalau Anda berbakat manis dalam merangkai kata-kata seperti Uda Ivan Lanin (tahu gak? Google sana gih!), itu bisa jadi nilai lebih. Hehehe.

Curhat gaje di gedung Perpustakaan dan Arsip Jakarta Selatan.

26012020.

Anggapan VS Realita Mahasiswa Eksekutif: Cerita Kuliah Malam

IMG-20190916-WA0028.jpg

Memasuki periode 17 perkuliahan

Hai, lama nggak menulis di blog bundanyacinta (tiup-tiup sarang laba-laba). Banyak yang terjadi beberapa waktu belakangan ini, cukup menyita waktu dan pikiran sampai blog ini cukup berdebu. Demikian juga dengan Kumcer Dhiandra, Grace, dan Alex yang minta jangan digantung, hiks. Ada apa saja selama ini? Salah satunya adalah kegiatan perkuliahan yang makin ‘memanas’.

***

Saya kuliah di salah satu Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi di Jakarta Selatan, konon adalah salah satu pionir kampus dengan jurusan kehumasan. Saat ini angkatan saya memasuki periode ke-17 perkuliahan. Ini berarti, masih tersisa tiga periode (enam bulan) yang perlu dituntaskan menjelang skripsi. Oya, saya adalah mahasiswa yang mengambil program perkuliahan eksekutif. Dengan ke-eksekutif-an itu, ada beberapa hal yang menjadi nilai plus dibandingkan kuliah reguler. Misalnya, dari segi pemilihan mata kuliah yang sudah tersistem paket, waktu belajar yang lebih singkat, dan kegiatan yang dibatasi sampai seefektif mungkin.

Tapi, kami juga kadang iri dengan mahasiswa reguler yang sering membuat event, outing, seminar, dan lain-lain. Lah, angkatan saya saja sudah tiga tahun kuliah nggak pernah sekali pun nemu waktu klop untuk outing. Pekerjaan jadi faktor paling krusial. Dengan karier yang beragam-ada yang flight attendant, CEO percetakan, content writer, marketing, sampai tukang minyak BUMN yang sekarang mainannya sudah dari rig yang satu ke rig yang lain (kayak Aldebaran Risjad di Critical Eleven), mengharapkan bisa berkumpul satu angkatan seperti menginginkan Raisa nyanyi dangdut berduet sama Rhoma Irama. Jauh panggang dari api.

images.jpeg

Critical Eleven by Ika Natassa

 

Disamping itu, ada beberapa anggapan yang terlanjur melekat di benak orang awam terhadap mahasiswa eksekutif. Apa sajakah?

1. Anggapan orang: Mahasiswa eksekutif gak pusing sama duit.

Realita: Sama aja, mahasiswa eksekutif harus pintar-pintar bagi pos keuangan supaya nggak defisit.

Kecuali Kang Minyak dan Ibu CEO, kami semua sama, engap di awal semester sebelum diingatkan oleh ‘Bapak Kost’ untuk jangan telat bayaran atau konsekuensinya tidak bisa ikut mid dan final test.

2. Anggapan orang: Mahasiswa eksekutif berotak encer.

Realita: Mungkin ada benarnya. Tapi bagi mahasiswa eksekutif yang juga karyawan, kuliah malam artinya menggunakan otak dan tenaga sisa setelah seharian berjibaku di perusahaan. Saya sendiri pernah ditertawakan karena kewalahan menjawab pertanyaan sepele dari dosen:

+ PT Freeport ada di mana?

– Uhm.. Papua Pak (sempat mau jawab Maluku).

+ Menghasilkan apa?

– Heuu… Emas Pak (sempat mau jawab bijih besi).

+ Sudah berapa tahun beroperasi di Indonesia?

– Dong.. Dong.. Dong.. Bisa call a friend gak Pak?

3. Anggapan orang: Mahasiswa eksekutif sering nongkrong setelah pulang kuliah.

Realita: Time is Gold. Kecuali saat awal-awal kuliah (masa perkenalan dan cek ombak, mana tau ada gebetan di satu angkatan), selagi ada waktu mendingan tidur. Kami gak pernah tau deadline apa yang menanti esok hari di kantor. “Boro-boro nongkrong, masih bisa masuk kuliah aja udah bagus!”

4. Anggapan orang: Mahasiswa eksekutif lebih cepat lulus.

Realita: Dari kampus memang sudah membuat program agar kami bisa menempuh masa studi selama 7 semester (3.5 tahun termasuk skripsi). Tapi nggak sedikit teman saya yang lintas angkatan, bernasib miris. Kuliah dari tahun 2012 dan baru ikutan bimbingan skripsi di angkatan saya, awal tahun depan. Beruntung, dia tidak drop out karena ditolong oleh program ‘pemutihan’. Intinya, tergantung kesungguhan kamu untuk belajar dan tidak pernah absen. Bersyukurlah saya,  memiliki jam kerja yang stabil dan umum.

5. Anggapan orang: Mahasiswa eksekutif jarang ke kampus di luar jadwal perkuliahan.

Realita: Betul sih. Tapi yaaa… Saya termasuk mahasiswa eksekutif yang sering ke kampus di hari Sabtu, sampai banyak dosen heran (inilah tidak enaknya punya muka dihafal dosen). Saya ke kampus saat penyerahan beasiswa, mau cari wifi gratis buat ngerjain tugas, ikut kelas digital marketing berbayar, dan kasih kado buat ‘Bapak Kost’ yang baru aja kawinan. Selebihnya, Sabtu saya gunakan untuk hibernasi wkwkwkwk…

WhatsApp Image 2018-09-16 at 10.15.38 PM (1)

Mahasiswa STIKOM Interstudi penerima beasiswa KOPPERTIS tahun lalu. Kala itu, saya satu-satunya perwakilan dari Public Relations Eksekutif yang bisa hadir pada acara seremonialnya.

Itulah sebagian kecil anggapan orang vs realita kami, mahasiswa eksekutif. Berjibaku dengan ilmu, otak sisa, serta fokus yang sudah hampir di ambang batas. Beri applause untuk kami, pejuang malam demi gelar sarjana berpredikat cumlaude. Yeay!

Kami memahami, tidak ada sukses yang datang dengan instan. Mungkin benar, kami selangkah lebih cepat dibandingkan mahasiswa reguler karena mayoritas dari kami adalah praktisi. Ijazah kami kejar untuk memperkuat pijakan karier, bukan untuk mencari pekerjaan. Kelihatannya gampang ya? Tapi ingatlah kawan, mahasiswa eksekutif juga manusia biasa, kadang rapuh, kadang eror, kadang bucin. Eh.

Tapi, kami semua punya semangat untuk terus maju. Sesulit apa pun keadaan dan ujian di depan sana. Jika kami saja semangat, masa kamu-yang reguler-enggak? So, ayok kita maju terus dan lulus barengan. Setuju?

Harus setuju.

 

Sekian dan terima transferan.

Flo, 23 September 2019.

 

Ibu Rumah Tangga VS Ibu Bekerja: Enak Mana?

bocah

Sebenarnya, saya kangen sama hectic nya aktivitas sehari-hari saat sedang tidak cuti. Gimana nggak, yang biasanya hari-hari dilalui dengan kerja dari pagi sampai sore, lanjut kuliah-sembari kumpul dulu setelah itu- belum lagi kalau hari Sabtu masih ada kewajiban lain yang harus dikerjakan, hah!

***

Itu semua menyisakan badan pegal-pegal dan rasa kantuk yang amat sangat di hari Minggu. Kabar baiknya, selama seminggu kedepan (total libur sepuluh hari), dalam rangka menyambut hari raya Idul Fitri, saya berkesempatan untuk istirahat. Ya, off dari seluruh aktivitas itu dan fokus ngurusin si Cinta.

Waah, asik dong? Bisa seharian keruntelan di kasur,  menikmati waktu dengan bersantai-santai, pokoknya: nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan?

Heets, kenyataan tidak semudah itu, Ferguso!

ferguso.jpg

source: idntimes.com

Bayangkan aja, di rumah yang-alhamdulillah-masih menggunakan AC alam sebagai pendingin alami, saya harus beradaptasi lagi dengan suhu udara Jakarta siang hari yang sangat panas dan lembab. Belum lagi tugas yang didelegasikan oleh Mama saya: Masak dan ngangon anak selama sepuluh hari fullSo, ini menjadi seperti dejavu. Kembali ke saat saya menjadi full time mother selama beberapa tahun belakangan.

Kalau kalian penasaran, apa saja yang dilakukan ibu rumah tangga versi saya, yuuk sinihh saya jelasin:

  1. Bangun sahur. Si bocil nggak puasa, tapi ikut heboh sahur karena terbangun gegara aksi bedug sahur yang berisiknya ngalahin pementasan barongsai di momen Imlek. Alhasil, saya suapin dia dulu, baru sahur (demi ketentraman sahur umat manusia di rumah).
  2. Bangun pagi, masak untuk menu si kecil. Asal tahu aja ya, anak kecil zaman now udah bisa request mau dimasakin apa dari H-1. Kadang menu yang diminta aneh: bola-bola tahu Super Mie, lele goreng tepung, sampai ayam geprek ala bensu.
  3. Nunggu bocah bangun, mandiin, dandanin, suapin, ajak main. Oya, bocil bisa makan besar sampai empat kali satu hari. Belum termasuk susu, bakso, dan cemilan. Coobaa Andah bayangkan, berapa kali dalam sehari, saya kudu bolak balik kasih sajen buat anak kecil itu??
  4. Belum lagi drama adu argumen. Yups, anak kecil udah biasa ngeyel kalau disuruh mandi, tidur, dan berhenti main. Disini cobaan terberat untuk emak-emak yang hobi ngomel, jarang momong anak, dan mana puasa lagi, hiks!
  5. Bersih-bersih rumah. Mulai dari sapu-sapu, cuci piring, sampai lap jendela dan pasang hordeng baru buat persiapan lebaran. Hayu, kalian team hordeng, horden, atau gorden? Apasih, ga penting amat wkwkwk.
  6. Masak lagi untuk berbuka puasa. Setelah itu, baru bisa me time. Itu pun belum sepenuhnya tenang selagi bocil belum tidur. 

Di sela-sela me time, masih ada iklannya:

“Bunda, pipis!”

“Bunda, e*k!”

“Bunda, Ojan nangis!” (Anak tetangga nangis, lah terus gue kudu ngapain??)

“Bunda, jajan!”

Disaat itu saya cuma bisa ngelus-ngelus dada sambil berdoa, semoga ini jadi ladang pahala. Semoga kelak ketika saya tua, saya juga dicurahkan kasih sayang serupa oleh anak-anak saya nantinya. Iya, anak-anak (bentuk jamak). Karena si bocil juga udah heboh wanti-wanti supaya saya jangan bosan cari Ayah baru. Huks!

Itu cuma sepuluh hari gaes. Apa jadinya kalau selamanya menjadi ibu rumah tangga penuh waktu? TOP BGT buat kalian para ibu rumah tangga, sungkem deh sekalian. Makanya saya paling kesel (baca: marah) kalau ada yang bilang:

“Ah, saya kan cuma ibu rumah tangga. Nggak kerja”

“Ah, istri gue cuma dirumah. Nggak berkembang.”

Buibuuk… Tolong kasih tahu saya kalau ada yang ngomong kek gini di depan kalian ya! Biar saya kasih siraman rohani atau saya rukyah sekalian biar jin Qorinnya keluar.

Helloooo! Ente pikir gampang, ngurusin rumah tangga?”

Apalagi kalau Pak Suami penghasilannya belum mencukupi untuk bisa membayar asisten rumah tangga. Semua kudu diurus sama kaum hawa, bahkan nggak jarang mereka juga bekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Kalau Paksu pengertian ga masalah ya. Yang repot adalah kalau ceritanya macem genre cerpen yang lagi booming di Facebook page KBM (Komunitas Bisa Menulis). Tentang suami yang nggak mau tau kerepotan istrinya, plus ditambah tuntutan supaya si istri bisa selalu cantik, jaga badan biar kata udah berkali-kali turun mesin (baca: melahirkan). Duh aduh…

Nah, kalau saya kerja niih. Apakah lebih enak? Kan tinggal seharian kerja, pulang terus tidur.

Hohoho, jangan senang dulu!

Kenyataannya adalah, pagi-pagi masak dulu untuk anak. Mandiin anak, dandanin, suapin. Antar ke sekolah, baru saya cuss ke kantor. Pulang kerja masih ngeladenin dia makan dan ba-bi-bu lainnya. Hari Minggu? Wuhuhu… Jatahnya jalan-jalan. Meski cuma ke taman Ayodya-yang nggak pakai ongkos dan jajan- tetap saja ada sajen mingguan yang nggak boleh alpa. Kalau tidak? Siap-siap aja tantrum level siaga satu.

So, kurang lebih gambarannya ya begitu. semua ada plus minusnya. Apa pun pilihan kita-jadi full time mother atau ibu bekerja-semua ada konsekuensinya. Saya pribadi merasakan, Ibu bekerja lebih sering feeling guilty karena kadang melewatkan momen tumbuh kembang anak yang bisa dibilang “ajaib”.

Seperti, ada aja kosa kata baru yang saya dengar dari si Cinta setiap saya libur. Contoh, hari ini. Saat Cinta menonton salah satu acara talkshow TV swasta:

“Bunda, tau nggak? Michael Tjandra lagi wawancara penderita kanker anak.”

mr. Tjandra

Source: deskgram.net

Saya agak gimanaa rasanya dengar tata Bahasa Indonesia anak umur 6 tahun yang bahkan belum lulus taman kanak-kanak itu.  Belajar dari mana sih Kakak… Huhuhu…

Nggak mungkin kita bisa menggenggam dua hal sekaligus. Tinggal kita saja yang harus pintar-pintar bersyukur dengan apa yang sudah digariskan, dimana pun jalannya, niatkan saja untuk ladang pahala dan demi hasil yang terbaik.  Gosah saling bully. Toh, kita nggak akan pernah tahu pasti apa yang membuat seorang perempuan ajeg dengan keputusan menjadi ibu rumah tangga atau menjadi ibu bekerja.

Kalau ditanya, enakan mana? Jadi ibu bekerja atau ibu rumah tangga? Saya pernah mengalami kedua fase itu. Tapi, terus terang saya malah bingung jawabnya. Dua-dua nya sama-sama menyenangkan. Menjadi ibu rumah tangga itu keren, jadi ibu bekerja juga sama kerennya.

Yuk mendewasa, berpikir lebih luas dan dalam. Berhenti membanding-bandingkan kehidupan kita dengan orang lain. Yakin juga, apa pun profesi kita, kelak si anak akan mengerti dan merasa bangga pada ibunya. Karena siapa lagi yang akan dijadikan role mode anak, kalau bukan ibunya sendiri?

Jalani semua dengan senyum. Percaya deh, berkah menanti 🙂

Sebuah celotehan di awal Juni,

Florensia Prihandini

Aladdin 2019: A Whole New World

 

Dibalik hingar-bingarnya Aladdin 2019 di Indonesia, saya mau memberikan sedikit intermezo. Bukan sinopsis, tapi ada yang lebih menarik. Yaitu sountrack legendaris dari masa ke masa yang mengiringi perjalanan Aladdin: A Whole New World.

***

Sudah jadi tradisi Disney, ada soundtrack versi original yang dibawakan oleh aktris dan aktornya, lalu ada juga versi cover yang digunakan untuk keperluan promosi. Dari semuanya, ternyata ada daya tarik masing-masing yang menjadikan mereka: the best in their way!

Ada beberapa penyanyi yang membawakan lagu ini. Mulai dari versi jadul sampai yang paling modern. Siapa saja?

  1. Paolo Bryson-Regina Belle

Ini sih legend ya, versi covernya Lea Salonga dan Brad Kane. Nuansa klasik Om Paolo dan power suaranya Tante Regina lumayan bikin saya merinding. Speechless.

2. Lea Salonga-Brad Kane

Versinya Mas Brad dan Mbak Lea adalah salah satu favorit saya. Mereka pasangan yang paling oke yang pernah ada di sejarah Disney. Membawakan sountrack versi original, suaranya Mas Brad ini “seksi” juga lho, ahahaha… Aroma-aroma “centil” Aladdin kentara sekali di suaranya. Berbanding terbalik dengan Mbak Lea yang lebih “Disney”.

3. ZAYN-Zhavia Ward

Versi cover yang ini? Terus terang saya nggak begitu suka. Entahlah, seperti dipaksakan. Mungkin mau dibuat klasik seperti versi Paolo dan Regina di tahun 1992. Suara mereka bagus kok, tapi terus terang saya kurang suka. Mungkin subjektif, tapi ini sepertinya murni masalah taste alias selera. 

4. Mena Massoud-Naomi Scott

Ya ampun, versi ini betul-betul buat saya ingat sama kepolosan Mas Brad dan Mbak Lea. Versi ini dibawakan Naomi Scott dan Meena Massoud dengan begitu sederhana, tidak berlebihan. Tapi justru disitulah letak esensi original soundtrack Disney yang sesungguhnya. Simpel namun berkelas.

5. Gamaliel-Isyana Sarasvati

Kyaa…

Sebelumnya saya nggak terlalu perhatian dengan vocal group GAC (Gamaliel-Audrey-Cantika). Namun setelah dengar A Whole New World versi ini, saya langsung jatuh cinta pada pendengaran pertama sama Gamaliel. Hehehe…. Buat saya, disini dia sukses banget “bercerita” dalam setiap lirik yang dia nyanyikan. So, lagu ini jadi lebih bernyawa karena caranya bertutur yang rapi dan penuh cinta. Kalau Mbak Isyana sih sudah nggak diragukan ya, warna suaranya memang sudah dari sononya klasik. Jadi, pasti bagus lah. The best.

Kalau kalian bagaimana, versi mana yang paling kalian suka?