Keputihan Karena Stress dan Kelelahan, Harus Gimana? (Part 2)

Waduh, bersambung nih ceritanya?

Hehe, iya, bersambung. Karena dampaknya lumayan juga. Gak sampai tunggu seminggu untuk kontrol, di hari keempat observasi, aku udah mengibarkan bendera putih.

Senin malam tidur-kebangun entah berapa kali karena gatal (meski nyeri udah berkurang) baru bisa agak pulas menjelang subuh. Pagi harinya gimana? Bayangin aja deh, kayak zombie.

Lalu memutuskan untuk kontrol lebih awal.

Jadi, saudara-saudara… Lanjutan dari ceritaku berobat ke klinik dengan dokter yang lain (bukan dokter yang biasa handle aku dan Cinta) memang unik.

Entah karena sugesti atau apa, tapi aku merasa kalau perkara dokter itu jodoh-jodohan.

Maksudnya adalah, yang pas buat orang lain belum tentu pas di aku. Yang bagus menurut orang lain belum tentu bagus buat aku. Gak mesti mahal atau murah (karena sebelum kenal dokter yang ini, aku berobat ke dokter non fasilitas kesehatan/ fakes BPJS).

Aku gak bilang kalau dokter yang tangani aku sebelumnya gak qualified loh ya. Cuma gak klik di aku.

Intinya, berobat ke dokter di fakes yang sama pun cocok-cocokan. Sekalinya ketemu sama yang cocok, rezeki banget deh.

Nah, alhamdulillah kali ini ketemu sama dokter yang aku cocok dari dulu. Yeey! Namanya dokter S.

Orangnya sabar, asli sabaar banget. Pertama kali aku ditangani sama dia adalah saat awal-awal sidang cerai dulu (aku ini rentan stress, dan kalau udah ‘nedas’ tuh gak pake babibu langsung ambruk).

Dia pinter banget ngulik dengan cara yang halus 😅. Gak bisa bohong deh kalau udah ketemu dia. Pengobatannya juga RUM.

Eh, apa itu RUM? Aku jelasin dikit ya, RUM adalah penggunaan obat yang bisa digunakan secara rasional sesuai dengan tiga indikator.

Yaitu tepat indikasi (sesuai dengan diagnosis), tepat dosis, dan bisa didapat dengan harga termurah alias generik.

Bukan karena aku berobat pakai kartu sakti ya, makanya dapat generik. Hampir semua spesialis non BPJS yang cocok di aku dan keluarga juga alhamdulillah dokter yang pro RUM ☺️.

Intinya, dokter ini gak lebay kalau kasih obat. Kalau memang gak perlu, dia gak akan resepkan.

Contoh, aku bilang kalau gatalnya kebangetan. Kupikir, aku bakal dikasih salep atau antihistamin yang lebih manjur, ternyata tydac.

Katanya, “Inti permasalahannya adalah keputihan. Gatal dan nyeri adalah reaksinya, jadi apa yang harus diobati? Akarnya. Hilangkan keputihannya.”

Hiks, pingin nangis, berasa dijitak. Setelah ngeyel dan adu argumen, “Kalau di kantor kan ribet, dok, gatalnya ganggu,” dia kasih aku beberapa butir aja, tapiii dengan catatan hanya diminum kalau benar-benar kepepet.

Setelahnya, dokter ini berhenti ngomong sebentar. Turunin suhu AC, rada mendekat ke aku, lalu nanya begini.

“Mungkin gak sih, ada peran hormonal di sini? Lagi banyak yang dipikirin ya? Stress? Percuma dikasih obat, tapi sumber stressnya gak dikendalikan.

Dia gak nge-judge di awal kalo inti permasalahannya ada di hormonal. Tapi mancing pasiennya buat “ngaku” dan cerita.

Iya, curhat.

Yang ditanya (aku) cuma bisa meringis, sambil bilang, “Iya, sih dok..”

Heu. Dook andai kau tahu..

Berhubung sumber stress nya adalah hal yang tidak bisa dipublish, ya sudah tidak bisa dilanjut ke sesi curhat. 🤧

Yang penting udah ngaku, kalau ada faktor X yang bikin penyakit perempuan ini betah berlama-lama diam di tubuhku.

Hari ini, gak ada sesi deep talk sama dokter. Aku diberi obat minum, sebagai pengganti tablet ovula (alhamdulillah, gak ada lagi adegan horor masukin kapsul obat ke vagina 😭), dan beberapa butir antihistamin yang cuma diminum kalau kepepet.

Gimana rasanya setelah minum obat baru?

Alhamdulillah gatalnya sudah jauuuh berkurang, ditambah aku juga cukup istirahat.

Sehari setelah kontrol, aku udah ngantor lagi. Gatal hanya terasa sedikit saat sore hari (artinya adalah memang belum bisa ‘capek’ dulu), nyeri sudah tidak ada.

Eh ya, aku bertekad mau kurangi aktivitas yang bikin emosiku gak stabil. Termasuk diantaranya adalah scroll medsos. Inilah yang bikin aku isi blog lagi, untuk healing dan curhat dengan nuansa yang lebih adem.

Sebab di blog aku merasa paling tenang. Komentar kumoderasi, dan tidak ada godaan untuk mengetahui traffic.

Kan aku blogger random, yang belum dimonetisasi. Jadi ngapain juga aku cek traffic. 😂

Aduuh payah ih, padahal temen-temen seperjuanganku sudah dotcom dan pasang adsense semua.✌🏻

Seperti kata dokter S, percuma berobat kalau sumber stress nya gak bisa dikelola. Jadi, harus pinter-pinter kelola stress, dengan cara menulis.

Kenapa gak curhat ke manusia?

Aku gak ngerti mau curhat ke manusia yang mana, yang model apa. Kasian genk rempong, beban hidupnya udah banyak. Makin puyeng kalau ditambahin ocehan gak jelas dari aku wkwkwk… 😂

Ehm, gak cuma itu, sih, sebabnya.

Gak semua orang yang mendengarkan, benar-benar paham caranya mendengarkan. Padahal, kalau sudah cerita, artinya kita udah percaya kan.

Menaruh kepercayaan kepada orang lain itu sulit, buatku. Jadi kalau udah sekali cerita, terus responnya kurang enak, sotoy, atau malah kasih saran tanpa kuminta, ya sudahlah. Kita beda frekuensi, sesederhana itu. 😄

Kembali ke blog, sudah banyak yang terlintas di kepalaku, apa yang akan kutulis lagi.

Mulai dari merapikan tumpukan draft tulisan yang gak kunjung selesai, hingga resolusi 2022 dan pencapaian di 2021. Serta ucapan terima kasih untuk mereka yang sangat berjasa untuk membuat hatiku hangat di tahun yang luar biasa ini.

Oh iya, kulit wajahku juga lagi breakout. Sebab siklus menstruasiku kacau balau akibat keputihan ini. Nanti, setelah keputihan ini 100% sembuh, kita bahas soal skincare murce dan tips buat sembuhin breakout, ya.

Hihihi….

Salam sayang untuk kaliaan…. ❤️❤️❤️❤️

Yang memang rajin baca tulisanku, atau cuma kepoin orangnya lewat tulisan.

Hati-hati, jangan kelewat penasaran, nanti jatuh cinta. ❤️😆

See you! Muach muach muach!!

2 pemikiran pada “Keputihan Karena Stress dan Kelelahan, Harus Gimana? (Part 2)

Tinggalkan komentar