Si Gimbal: Senja di Seberang Gereja

Ini adalah kisah si Gimbal, belasan tahun silam.

***

 

teenager-297729__340

Si Gimbal versi kartun 🙂

 

Remaja tanggung itu berusia lima belas tahun. Rambut tebal bergelombang dikucir dua. Agak gimbal karena katanya, hadiah dari kakek buyut yang berdarah Bugis. Kulit coklat sebab dua tahun selama di Sekolah Menengah Pertama ia hobi sekali berenang. Satu minggu sekali, tak pernah absen mengukur panjang dan dalamnya kolam olympic di Pondok Indah.  Pada tahun ketiga, mendadak hobinya berganti menjadi berlari. Dari kolam sejuk ia pindah ke lapangan berdebu di Senayan, menjejak setiap senti hingga bilangan dua ribu meter lintasan.

 

Kulit makin coklat, badan kurus, wajah garang, semua orang mengira ia anak orang Ambon.

 

Hingga suatu hari ia diminta mama mengantar catering ke restoran tempat papanya bekerja sebagai Chef. Corica, nama restoran itu dulu. Lokasinya di Jl. Sampit, bilangan Barito-Jakarta Selatan. Persis di sebelah Gereja Katolik Santo Yohanes Penginjil. Apa saja dikerjakan orang tuanya demi menambah penghasilan. Untuk membiayai sekolah di SMP favorit yang tidak murah. Si gimbal tidak malu menjadi kurir nasi rantang. Toh, setiap sore ia bisa jalan-jalan cuci mata. Ketimbang menganggur di rumah.

Sore itu hari Minggu. Ketika menunggu bus sepulang mengantar katering, si gimbal disapa oleh kakak cantik yang menggenggam alkitab. Dengan ramah, wanita itu mengajak menyeberang bersama. Lantas bertanya, apakah si Gimbal ikut jadwal kebaktian yang sama dengannya.

Kala itu Gimbal tersenyum, sambil mengatakan kalau dirinya tidak ke gereja. Ia seorang muslim yang kebetulan berdiri di seberang gereja. Menunggu bus di senja hari setelah selesai mengantar nasi rantang ke Corica. Mendengar itu, kakak cantik meminta maaf. Tersenyum manis dan mereka berjabat tangan, berkenalan. Lantas ia berlalu, memasuki rumah ibadah. Pemandangan yang indah di tengah keberagaman dan toleransi, diiringi suara lonceng yang menggema di udara. Sejak saat itu, ada getaran di hati yang membuatnya seperti dipukul, ditegur.

 

Itu dulu, empat belas tahun silam.

 

Sekarang si gimbal sudah mengenakan jilbab yang menutupi dada. Karena ia sadar bahwa beragama perlu identitas pembeda. Menutup aurat adalah kewajiban bagi muslimah, bukan sebuah pilihan. Memang wajah dan fisiknya terlalu timur. Namun, itu bukan alasan baginya untuk berhijab. Setelah bertahun-tahun ditutup pakaian panjang dan rajin merawat diri, julukan Gimbal tidak lagi melekat. Berganti dengan ‘Bu Haji’ yang dianggapnya sebagai sebuah doa.

Memang saat ini si Gimbal belum jadi muslimah sejati. Dia belum berani menggunakan rok, masih suka mendengarkan musik dengan beat cepat, dan cenderung berbicara frontal. Pemahaman agamanya juga masih jauh panggang dari api. Tapi hatinya selalu tulus mendoa. Semoga kelak ia bisa meraih hidayah kedua, yang membuat dirinya akan seperti teman-teman yang menggunakan gamis, kerudung panjang, dan mengenakan manset dibalik gamis panjangnya itu. Anggun dan berwibawa.

 

Hingga saat ini, ia belum berani. Entah apa sebabnya.

Maukah kalian mendoakannya?

Mendoakan si Gimbal?

Karena, si Gimbal itu aku.

 

#ODOPbatch5 #Onedayonepost #Tantanganpekanpertama #aku #kelasnonfiksi