Biarkan Hatiku Bermain Pena

Sebuah pena,  tak selalu butuh rambu untuk melanglang lembaran kertas. Ia hanya perlu sebongkah rasa.  Kadang suka, kadang luka.

***

feather-3237961__340

 

Tak pernah ada dalam benak ini untuk menekuni dunia kepenulisan. Sejak usia sekolah dasar, memang orang-orang bilang saya berbeda. Kata-kata yang terlontar dan bahasa tulisan yang digunakan sudah seperti orang dewasa, tidak layaknya bocah ingusan. Mungkin karena bacaan di rumah juga berbeda dengan mereka. Ketika anak-anak lain akrab dengan Kobo Chan, saya sudah menamatkan Karmila dan berjudul-judul Lupus. Saat remaja tanggung lain mulai melahap Eiffel I’m in Love, saya sudah asyik dengan Penelusuran Benang Merah Sherlock Holmes.

Berada di lautan buku (baca: perpustakaan) bisa membuat otak ini lupa daratan. Seminggu sekali pasti surga itu tersambangi. Dari banyak membaca, pembendaharaan kata yang saya miliki terdongkrak. Suatu hari, timbul perasaan iri melihat kakak menulis diary. Ada bisikan dalam hati, bertekad akan menabung supaya bisa membeli buku bagus dan tebal agar bisa seperti dia. Membiarkan pena menari-nari di atas putihnya kertas tanpa ragu. Seolah pena tersebut dimanterai agar bisa bergerak lincah tanpa membuat penggenggamnya merasa lelah.

 

Kau tau bagaimana cara pena menari?

Ia menari dengan musik yang mengalun merdu dari dalam hati.

Tak perlu diajari, tiap torehan kata mengalir apa adanya. Tanpa topeng, tanpa sandiwara.

 

Namun ada saat saya berhenti menulis. Ketika menemukan pusat tata surya baru, buku-buku dan pena itu terlempar ke ruang hampa. Bukankah memang tugas satelit untuk mendampingi planetnya berotasi dan berevolusi? Seharusnya begitu.

Tapi tidak, hingga hal paling buruk dalam hidup terjadi. Saat muncul penyesalan ketika masih terbangun di pagi hari, hampir gila karena putus asa. Diri ini butuh pena dan kertas untuk berekspresi, ketimbang membunuh diri sendiri.

 

Tuhan masih menyayangi saya. Menulis menjadi jalan untuk mengobati sebongkah hati yang sakit. Sedikit demi sedikit luka mengering, berganti menjadi batu loncatan untuk berkarya dengan lebih indah. Biarkan saja tata surya itu hancur, tak masalah selagi Ia masih mengirimkan matahari kedua dan ketiga.

 

Tahun ini, saya bertemu teman-teman baru di komunitas One Day One Post (ODOP). Kami saling menyemangati dalam kepenulisan. Sungguh sederhana harapan-harapan yang muncul ketika mengenal mereka. Paling tidak, ada sebuah ruang baru untuk bertegur sapa dan menggali pelita. Bertambah teman, saudara, dan pengalaman-pengalaman baru. Di komunitas ini, saya diperlihatkan banyak rambu dalam menggoreskan pena. Tapi percayalah, rambu itu akan mengalir dengan sendirinya. Dikalahkan oleh kata hati yang yang lembut. Karena pena, tunduk pada hati yang menggenggamnya.

 

#Tantanganminggu1 #Onedayonepost #ODOPbatch5 #Tantanganperjalananmenulisku

6 pemikiran pada “Biarkan Hatiku Bermain Pena

Tinggalkan komentar